Kamis, 09 Februari 2012

Irasional (Cerpen gue yang bakal jadi naskah film pendek)


Aku terduduk didepan layar komputerku, mencoba menuangkan pikiran lewat cerita singkat, sajak, atau sebuah artikel yang didasari pengalaman sendiri. Sepuluh menit, tiga puluh menit, bahkan hampir dua jam aku memutar otak untuk mencari garis besar atas suatu pemikiran. Tetapi hal itu belum juga kudapat. Kemana ujung pemikiranku? Aku tidak tau. 
Terlalu banyak cabang yang melingkar diotakku, sangat banyak, mungkin jika otakku berupa helaian benang maka benang-banang itu sudahlah kusut. Tak terlihat lagi mana kedua ujungnya. Aku ingin berdiri pada ideologi awalku mengenai konsep kenegaraan yang berkaitan dengan doktrin, berkoar-koar tentang sistem pendidikan, atau bahkan bicara soal dogma dan kehidupan. Namun problema yang tidak irasional mengacaukan pikiranku. Ini terkait masalah perasaan, masalah cinta yang benar-benar irasional. Aku benci terjebak oleh keadaan yang sedemikian rupa. Keberadaan rasa yang tidak dapat aku paparkan secara ilmiah ini membuatku mati kutu. Aku merasa nanar akan hal ini.
Aku menghela nafas panjang dan kembali menyulutkan api dari korek gas di ujung rokokku. Aku mencoba menenangkan diri. Untuk berpikir lurus, aku harus berada dalam keadaan yang stabil. Instrument gitar klasik kupilih untuk memperbaiki kusutnya otakku, karena berdasarkan penelitian musik klasik dapat membantu cara kerja otak agar lebih baik. Tapi sepertinya itu tidak berlaku untukku, aku gagal mengontrol daya pikirku. Yang aku tau dan yang aku ingin adalah bertemu dengannya. Ya Tuhan, aku benar-benar sudah terjebak pada dalamnya rasa, aku kecanduan cinta, Ya Tuhan.
Aku mulai merebahkan diri diatas tempat tidurku, berusaha untuk masuk kealam mimpi agar semuanya lebih mudah untukku lupakan. Tapi bukannya rasa kantuk yang menyerang, malah mataku asik berputar mengelilingi setiap sudut kamarku ini. Kamar kost tempatku melepas lelah dan menjalani tugas hidup ini menjadi saksi bisu dimana aku dan dia saling mengucap kata cinta, bercumbu dalam hangatnya nuansa asmara. Aku segera mengangkat tubuhku untuk duduk dan mengusap-ngusap wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku benar-benar rindu padanya. Dan mungkin, aku sedang merasa cemburu?
Kuambil poselku, kuketik sedikit kalimat, aku ingin mengirimkan pesan singkat untuknya. Namun aku segera tersadar akan pesan singkat yang siang tadi telah ia kirimkan untukku, isinya memberi kabar bahwa kekasihnya sedang mengunjunginya ke kostan tempat ia tinggal. Untung aku segera ingat, aku tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Biarlah aku menunggu dia yang menghubungiku, aku harus sabar. Dan yang paling utama adalah aku harus sadar posisiku, aku bukan satu-satunya bagi dia. Bukan juga yang pertama. Keberadaanku dihidupnya mungkin baru sekitar dua bulan, sedangkan hubungan yang ia jalin dengan kekasihnya sudah lebih dari empat tahun. Aku harus sadar diri.
Waktu sudah menunjukan pukul 21.13 WIB, pesan singkat darinya tak kunjung datang. Kubuka sebotol Vodca yang kubeli setengah jam yang lalu, menuangkannya kedalam gelas khusus dan mencampurkannya dengan sedikit Sprite serta sedikit perasan jeruk nipis. Racikan ini adalah racikan favoritku, rasanya menjadi lebih segar dan bau alkoholnya jadi tidak terlalu menyengat. Aku meneguknya sekaligus hingga gelas itu kosong, merasakan cairan itu masuk keperutku adalah merasakan pahitnya hidup. Aku seperti disadarkan lewat tamparan keras yang tidak sakit secara fisik, tapi secara batin. Tapi entah mengapa kesakitan itu begitu nikmat dan pemikiranku menjadi lebih terbuka, lebih bebas. 
Aku butuh beberapa teguk racikan itu lagi agar otakku bekerja lebih cepat. Aku tau persis takaranku agar tak sampai mabuk, karena kebiasaan ini sudah menjadi teman sehari-hariku. Rasanya hidupku kembali, kepercayaan diriku kembali dan sukmaku mulai bernyanyi. Kusulut sebatang rokok lagi untuk menemani kesendirianku malam ini. Ku putar lagu-lagu dari Heima Sigur Ros yang makin membuatku melayang bebas dialam berpikir. Sungguh nikmat tak terkira. Nikmat sekali.
***
Nada dering pesan singkat dari ponselku memotong daya pikirku, aku mengambilnya dan membuka pesan itu. Dari Juna. Ya, laki-laki yang belakangan ini membuat otakku sedikit runyam. Nama lengkapnya Arjuna Bramandita, satu angkatan denganku di universitas yang sama. Ia mengambil jurusan sastra, sedangkan aku jurnalistik. Kami berdua adalah anggota UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Teater, akupun mengenalnya dari perkumpulan itu. Namun empat bulan yang lalu, ketika kami sama-sama mengerjakan proyek event tahunan pagelaran seni teater mahasiswa Indonesia, intensitas pertemuan kami semakin tinggi dengan dasar kerja tim. Hampir setiap hari kami berdiskusi mengenai apapun yang berkaitan dengan pagelaran seni teater nanti. Menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, serta latihan-latihan yang harus dilakukan. 
Kami selalu bertemu pada saat-saat itu, sampai akhirnya entah mengapa kami jadi cukup dekat secara personal diluar kegiatan itu. Tanpa basa-basi ia mengajakku untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar berteman. Dan tanpa banyak berkilah akupun merespon ajakannya itu, walaupun saat itu aku tahu kalau Juna sudah menjalin hubungan khusus dengan Rina, teman sejurusanku di universitas. Entah kenapa aku demikian mudahnya meng-iya-kan, padahal aku jarang sekali cepat menerima keberadaan seorang lawan jenis yang mencoba untuk menjalani hubungan denganku. Ini begitu tabu bagiku, bahkan sampai detik ini aku belum tau alasan apa yang mendasari pengambilan keputusanku itu.
Kubuka isi pesan singkat dari Juna.
-SAYANG-
Aku tersenyum dan membalas pesan singkat itu.
-IYA SAYANG, UDAH PULANG RINANYA?-
-UDAH KOK, BARU AJA AKU ANTERIN DIA PULANG, NIH AKU BARU SAMPE RUMAH. KAMU LAGI NGAPAIN? MAAF YA LAMA..-
-OH, AKU LAGI DENGERIN LAGU DOANG, GAK PAPA KOK SAYANG. KAMU LAGI NGAPAIN? TADI NGAPAIN AJA SAMA RINA?-
-AKU LAGI MAKAN, KAMU UDAH MAKAN? YAH, UDAHLAH GAK USAH DIBAHAS AKU NGAPAIN-NGAPAIN AJA SAMA DOI. HEHE.-
Ya, aku paham maksud Juna, ia mungkin tak ingin bercerita agar aku tidak terbakar rasa cemburu. Walau sebenarnya aku memang sudah terbakar cemburu sejak tadi siang. Dan kecemburuanku hari ini bukanlah kecemburuanku yang pertama.
Obrolan lewat pesan singkat ini terus berlanjut. Walau hanya berisi candaan, cukup bagiku untuk  mengobati segala kegelisahan dan rindu, apalagi saat ia mengungkapkan kata cinta yang selalu membuat hatiku melambung tinggi. Dan esok hari Juna berencana untuk mengunjungiku, dia akan datang ke kostanku. “Besok giliran kamu ya, Sayang..hehe” Candanya, tapi sebenarnya candaan itu membuatku sedikit sakit. Siapa yang mau di gilir seperti ini? Huh. Aku hanya mengusap dada dan menghela nafas. Aku harus sabar, ini memang sudah resiko yang harus kuambil. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 00.35 WIB, sudah dini hari. Kamipun menyudahi obrolan ini dengan ucapan selamat tidur, walau sebenarnya aku belum ingin tidur. Entah kenapa ada yang mengganjal dihatiku. Ya, selalu ada yang mengganjal. Mungkin hubungan ini membuatku sering gelisah, hubungan yang harusnya tidak aku jalani. Bagaimana tidak? Aku bercinta dengan kekasih temanku. Harusnya aku tidak seperti ini, tapi lagi-lagi aku dibutakan oleh kekuatan rasa.

Mataku belum merasakan kantuk, sudah pukul 01.30 dini hari. Aku benar-benar gelisah, aku lelah seperti ini, rasanya ingin sekali aku sudahi, dalam posisi seperti ini aku adalah yang paling sering merasa sakit. Aku tau, mungkin nanti saat Rina mengetahui hubungan gelapku dengan Juna, pastilah ia akan begitu kecewa dan sakit hati. Tapi untuk saat ini, akulah yang terus menerus tersakiti oleh keadaan. Aku ingin menyudahinya, tapi bukan menyudahi hubunganku dengan Juna. Semakin kesini aku semakin berharap hubungan Juna dan Rina cepat kandas, agar aku menjadi satu-satunya bagi Juna. Tapi disisi lain aku juga tidak ingin membuat Rina begitu terluka dengan kehadiranku. Ahh, entahlah.. aku dilema.
Kubuka lemari pakaianku, aku mengambil bungkusan kecil yang ada dibawah tumpukan pakaianku itu. Sebungkus kecil daun ganja yang sudah kubeli 2 hari yang lalu, kini tinggal sisa setengahnya, mungkin cukup untuk tiga linting lagi. Aku mengeluarkan kertas lintingan yang ada didompetku, merobeknya satu helai, dan mulai menuangkan sedikit ganja diatasnya. Ini ganja kualitas bagus, tidak terlalu kering, warnanyapun masih coklat kehijau-hijauan, tidak coklat pekat. Jadi aku mencampurnya dengan sedikit tembakau untuk menghemat pemakaian. 
Kulinting ganja ini menjadi batangan yang siap dibakar, dan ketika aku menyulutnya dengan api serta menghisapnya, seketika itu juga aku mencium aroma yang luar biasa nikmat. Setiap hisapan dan hembusan asapnya kuhirup lagi. Dalam-dalam kuhirup, sebisa mungkin agar asap-asap itu tak terbuang percuma. Kuhabiskan selinting ganja itu, kamarku penuh dengan asap ganja yang terbakar, aku merasa terbang di awan, nikmat sekali, sampai akhirnya aku jatuh kealam mimpi.

***

            Aku terbangun dari tidurku, ternyata sudah pukul sepuluh pagi. Aku terduduk diam diatas kasurku, mencoba terus mengumpulakan jiwaku yang belum penuh terisi. Ketika sudah terasa cukup segar, aku bangkit dari tempat tidurku. Meraih handuk yang tergantung di tembok kamar dan segera pergi mandi. Setelah selesai mandi aku menelpon warung makan didekat kostanku untuk memesan sarapan pagi ini. Sembari menunggu pesanan datang, aku merapikan kamar kost-ku. Sisa-sisa nafas semalam aku bersihkan, aku membuang sisa-sisa itu, mulai dari abu rokok yang memenuhi asbak, gelas-gelas, kaleng Sprite dan ampas potongan jeruk nipis. Botol Vodca yang masih berisi setengah aku simpan lagi ditempatnya, begitu pula bungkusan daun ganja yang masih tersisa itu kusimpan lagi dilemari pakaian.
            Setelah semua terlihat cukup rapi dan bersih aku mulai menyantap sarapanku yang sebelumnya sudah diantar oleh si pengantar makanan. Ketika aku sedang asik melahap, Juna tiba di halaman depan kamar kostanku dengan Thundernya, aku tersenyum menyambut.
            “Hei, makan siang apa sarapan?” Tanya Juna begitu masuk kekamar kostanku. Kostan yang aku sewa ini bisa dibilang cukup bebas, karena siapapun boleh bertamu tanpa jam-jam tertentu. Bahkan siapapun bisa menginap kapan saja, sekalipun itu lawan jenisku.
“Nyarap.. hehe. Kok gak sms dulu? Tau-tau dateng gitu.. Untung aku udah bangun.”
“Biar surprise.. hahaha. Ya kalo kamu belum bangun tinggal aku bangunin, gitu aja susah.”
“Haha.. biasa aja ah, gak surprise juga. Udah makan belom? Makan nih..” kataku sembari menawarkan makan.
“Gak ah, aku udah makan, yaudah kamu abisin aja dulu, Ay.” Jawab Juna sembari mengambil gitar dari atas tempat tidurku dan mulai memainkannya.
Setelah aku selesai menghabiskan makananku, aku mendekati Juna. Bersandar di bahunya. Juna pun segera menaruh gitarnya agar dapat memelukku.
“Aku kangen kamu, Jun. Dua hari gak ketemu aja udah kangen. Hehe.” Ucapku sambil terus bermanjaan.
“Yaiyalah, itulah hebatnya aku. Hehe. Aku juga kangen kok” Candanya diikuti sebuah kecupan hangat dibibirku. Aku menyambutnya dengan hangat pula, memeluknya. Dan sesekali kami melepaskan kecupan kami untuk saling berpandangan, lalu bercumbu lagi. Dan semakin lama kecupan-kecupan kami berubah menjadi ciuman-ciuman bergairah. Semakin hangat bergelora. Dan kami mulai tenggelam menikmati hawa napsu masing-masing. Namun semuanya ku hentikan secara tiba-tiba, manakala aku menyadari bahwa aku hanyalah simpanan bagi Juna. Aku merasa ini tidak adil untukku, posisiku masih bayang-bayang untuk Juna, walau Juna begitu sering meyakinkanku bahwa ia benar-benar mencintaiku, itu belum cukup untukku. Aku tetap ingin menjadi satu-satunya. Dan Juna belum menunjukkan itikat untuk menyudahi hubungannya dengan Rina.
“Kenapa sih, Ay?” Tanya Juna padaku, dia ingin tau kenapa aku tiba-tiba meghentikan cumbuannya.
“Gak apa-apa, Jun. Aku Cuma gak mau aja, kamu masih sama dia.”
“Yaampun Shephia... Aya.. gak gitu juga.. aku sayang sama kamu. Sumpah. Kamu sendiri yang bilang sama aku kalo kamu bisa liat rasa sayang aku ke kamu tuh beneran. Dan emang aku tuh gak pernah bohong sama kamu, Ay..” Jelas Juna padaku.
“Emang, emang aku bisa liat kalo kamu itu beneran sayang sama aku, Jun. Tapi makin kesini aku makin gak yakin kamu itu jujur apa enggak. Hampir tiga bulan aku diiming-imingi ucapan kamu kalo kamu bakal ninggalin Rina. Tapi mana? Sampe sekarang aku gak liat itu.” Kataku sedikit terbata-bata.
“Gak secepat itu, Ay. Kamu ngertilah, aku sama dia udah lebih dari empat tahun. Kamu harus sabar.”
“Kamu selalu bilang kayak gitu dari awal, aku harus sabar, tapi sampe kapan, Jun?? Aku udah mulai cape sama posisiku.” Kilahku sedikit menaikan nada bicara.
“Kamu udah gak kuat, Ay? Kamu mau kita udahan?”
“Iya, aku udah gak tahan, Jun.. Tapi aku juga gak mau udahan gitu aja. Aku udah ngerasa bener-bener sayang ke kamu. Aahh, aku juga gak tau Jun.. aku bingung.”
“Yaudah, kamu harus sedikit lebih sabar lagi, plis..” Ucap Juna dengan tatapan yang begitu dalam. Dan itu sedikit meredam emosiku yang semula begitu bergejolak. Aku kembali menatap Juna dan segera memeluknya. Aku tak bisa banyak berbuat selain meredam emosiku sendiri saat ini.
“Tapi kamu beneran bakal putusin dia kan?” Tanyaku lagi.
“Kita liat aja kedepannya, kita gak pernah tau kan?” Jawab Juna, dan itu membuatku sedikit kecewa, tapi aku tidak bisa mengungkapkan kekecewaanku itu. Semua begitu membuatku patah arang. Aku hanya tertunduk meratapi dan berusaha berikir positif. Dipertemuan sebelumnya memang Juna pernah mengungkapkan bahwa ia masih sedikit ragu padaku, bukan ragu bahwa ia mencintaiku atau tidak, Juna yakin bahwa ia mencintaiku, tapi ia tidak yakin bakal bisa menerima aku apa adanya atau tidak. Dia beralasan bahwa ia tidak begitu suka dengan pergaulanku, karena aku alkoholik, karena aku ganjais, karena aku perokok dan karena aku sedikit berbeda dengan wanita pada umumnya yang lebih bisa menempatkan dirinya sebagai seorang wanita. Sedangkan aku? Aku terkadang lupa bahwa aku wanita, aku sedikit tomboy, terlalu bebas, dan banyak hal negatif  lainnya yang harusnya bukan menjadi karakter dari seorang wanita. Aku mencoba selalu memahami hal itu, walau aku sudah meyakinkannya bahwa aku dapat merubah pribadiku agar menjadi lebih baik. Demi orang yang aku sayang, merubah sedikit kebiasaan buruk bukanlah hal yang sulit. Tapi mungkin berbeda dengan pemikiran Juna. Jadi, aku hanya bisa menerima alasan-alasan yang ia katakan sembari terus meyakinkan diri bahwa apa yang diucapkan Juna bukanlah sekedar kebohongan.
Juna memelukku, mencoba menguatkanku yang terlihat lemah setelah mendengar jawaban darinya. Aku menerima pelukan itu dengan hangat. aku menyingkirkan segala perasaan takutku, yang aku tau saat ini adalah aku mencintainya, dan tetap ingin terus bersamanya. Aku tak  peduli lagi aku jadi yang kedua, ketiga atau keempat sekalipun. Kembali kami berdua berada dalam cumbuan sepasang kekasih. Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya saat kami bersama, tertawa, bercanda ria, bernyanyi bersama, menikmati hangatnya bercumbu dan  lain sebagainya. Aku sungguh menikmati setiap detikku bersama Juna. Walau kadang sesekali ia menerima pesan singkat dan telepon dari Rina yang membuatku terbakar api cemburu. Aku hanya mencoba mengerti dan menyadari posisiku.
Tak terasa malam kian larut, ketika aku bersama Juna entah mengapa waktu kian terasa begiti cepat berlalu. Ia bersiap-siap untuk pulang, malam ini ia tidak bisa menginap karena harus mengerjakan tugas kuliahnya. Lagi pula besok pagi Juna harus berangkat kuliah bersama dengan Rina. Dan sejak aku menjalin hubungan dengan Juna, aku menjadi sering bolos kuliah. Bukannya aku menghindari Rina, tapi aku malas melihat mereka berdua ada dihadapanku. Mendengar mereka sedang berdua saja aku sudah merasa cemburu, bagaimana kalau aku melihat mereka berdua didepanku? Mungkin aku sudah muntah karena cemburu yang begitu meluap.
“Besok kamu kuliah gak?” Tanya Juna yang sudah berada di atas Thundernya.
“Enggak ah, males. Kamu tau lah alesannya” Jawabku sembari menggeleng.
“Haha.. iya.. tapi jangan sering-sering juga kali bolosnya. Udah semester tujuh nih.. lagi siap-siap bikin skripsi malah bolos terus..” Katanya disertai anggikan dariku. “Yaudah. Aku pulang ya, Ay. Dadah .”
Ia melaju dengan motornya, aku memandang dari halaman kostan sampai ia hilang dari pandangnku. Aku kembali kedalam kamar dan kembali lagi dalam kesunyian malam. Waktu sudah menunjukan pukul 23.45 WIB. Aku belum mau tidur, aku ingin melakukan aktifitas malamku seperti biasanya. Duduk didepan layar komputerku sembari menulis beberapa artikel yang spat tertunda, serta aktifitas pendukung lainnya seperti merokok dan minum. Aku melihat arah jam lagi, ternyata sudah pukul satu dini hari. Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan singkat untuk Juna,
-KAMU UDAH SAMPE KOSTAN KAN, JUN?-
Tak ada balasan, mungkin ia sudah tertidur.
Aku kembali pada aktvitasku, namun entah mengapa aku sedikit dilanda kejenuhan. Aku ingin keluar menikmati malam. Segera aku mengenakan sweeter dan celana lepis panjangku. Aku ingin berjalan keluar, jangan pikir aku punya tujuan, aku berjalan tanpa tujuan. Ya, berjalan kaki di tengah malam sendirian, dan tanpa tujuan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mampir kesebuah warung kopi yang aku lewati. Memesan segelas kopi hitam dan menyulut rokok lagi. Berbincang bincang dengan penjaga warung dan pengunjung lainnya hingga pagi hampir tiba. Ah, hidup ini begitu klise, kawan.

***

Seluruh sisi dari kamar kost-ku begitu berantakan, aku tak banyak ingat mengenai apa yang aku lakukan malam tadi. Yang aku ingat hanya aku banyak sekali meneguk Vodca yang siang kemarin aku beli. Dua botol Vodca itu kini hanya sisa seperempat botol, ternyata tanpa aku sadari aku telah menghabiskannya sendiri tadi malam. Ah, aku pasti mabuk. Hingga saat ini pun aku masih merasa kepalaku begitu berat. Kulirik jam dindingku, sudah lewat pukul satu siang. 
Apa yang terjadi padaku semalam? Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak minum alkohol sampai mabuk? Aku alkoholik, bukan pemabuk. Pasti ini semua akibat pikiran-pikiran kacauku dua hari belakangan. Aku merindukan Juna, tapi tak sedikit kabarpun datang darinya, baik itu pesan singkat, telepon atau kehadirannya. Bahkan pesan singkat yang aku kirimkan tidak digubris olehnya. Panggilanku pun di tolak. Kemana Juna dua hari ini? Apa ia sudah melupakanku dan lebih memilih Rina? Lalu kenapa ia tidak bicara saja padaku agar aku tak seresah ini? Ah, terlalu banyak pertanyaan yang muncul diotakku. Aku merindukannya.
Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan segera pergi membasuh muka dan menggosok gigi. Tanpa merapikan kamarku yang sudah sangat berantakan, aku segera mengganti pakaian tidurku dengan t-shirt dan celana panjang, lalu sepatu kets hitam segera kukenakan. Aku ingin berangkat kekampus, sore ini ada perkumpulan rutin di UKM teater, dan yang lebih utama adalah aku ingin bertemu Juna. Aku harap ia hadir dalam forum minggu ini, aku ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.
Setibanya di kampus aku segera menuju ruang UKM teater, dan harapanku ternyata menjadi nyata, Juna hadir dalam forum. Aku mengucap salam pada semua yang hadir, serta berjabatan pada semua, termasuk Juna. Aku tak mau terlihat ada masalah dengannya di depan umum, karena memang itu bukanlah hal yang patut aku tunjukan. Karena publik telah mengenal Juna sebagai kekasih Rina, bukan kekasihku. Dan aku memang menyembunyikan hubungan kami dari semua orang, hanya aku dan Juna yang tau. Ya, cukup aku dan Juna yang tau. Forum kali ini hanya dihadiri beberapa anggota, tidak lebih dari sepuluh orang, karena memang tidak ada hal penting yang harus dibicarakan dalam forum kali ini. Kami hanya saling bercerita mengenai ide-ide apa saja yang akan kami tuangkan jika nanti ada pertunjukan, selebihnya hanya bersenda gurau. Dua jam kemudian forum ditutup. Dan ini menjadi kesempatanku untuk menyelesaikan masalah dengan Juna, aku mengajaknya untuk pergi kekantin, agar aku lebih leluasa bicara padanya. Dan aku juga tidak harus kuatir jika bertemu Rina, karena memang hari ini tidak ada kelas baginya, otomatis dia tidak hadir di kampus.
Kebetulan kantin sudah cukup sepi, mungkin karena hari sudah sore. Aku memesan dua gelas capucino untukku dan Juna. Pembicaraanpun aku mulai.
“Kamu kemana aja sih? Dua hari loh kamu gak ada kabar. Gak kayak biasanya.” Tanyaku.
“Aku cuma ngerasa kalo hubungan kita mestinya memang harus disudahi.” Jawab Juna tanpa memandangku. Dan saat itu petir serasa bergelegar dihatiku.
“Kenapa tiba-tiba bilang gitu, Jun?”
“Aku sadar aku udah nyakitin Rina selama aku sama kamu. Aku terus ngebohongin dia. Lama-lama aku gak tega.”
“Jun, kamu yang awalnya deketin aku, sampe aku udah bener-bener jatuh kepelukan kamu. Terus sekarang kamu dengan gamapangnya bilang kalo kamu udah sadar akan kesalahan kamu sama Rina. Terus mau nyudahin hubungan kita yang udah terlanjur basah ini?? Gimana aku, Jun?? Mana janji-janji kamu yang nyuruh aku terus sabar?? Gila kamu, Jun!” paparku panjang dengan sedikit emosi.
“Aku tau, Ay. Tapi sekarang aku sadar kalo kemarin itu kita sama-sama khilaf. Dan aku gak pernah janjiin kamu apa-apa, Ay. Dari awal aku hanya sekedar nyuruh kamu untuk sabar nunggu aku udahan sama Rina, aku gak bilang kan aku beneran bakal udahan sama Rina demi kamu? Dan sampe detik ini aku belum yakin bisa menerima kamu sebagaimana kamu yang saat ini.” Jelas Juna padaku. Ia benar, memang ia tidak pernah menjanjikan padaku untuk menyudahi hubungannya dengan Rina dan lalu memilih aku. Tapi aku belum bisa terima.
“Terus apa gunanya aku sabar selama hampir tiga bulan ini?? Apa Jun??? Katanya kamu sudah jenuh dengan hubunganmu bersama Rina, makanya kamu hadir dihidup aku. Terus ketika semuanya sudah setengah jalan kamu malah mau berhenti dan berbalik arah jalan lagi gitu, Jun? Ninggalin aku sendiri yang meneruskan jalan ini. Gitu?”
“Aku gak bohong sama kamu, Ay. Aku bener-bener jenuh saat itu sama Rina. Dan rasa jenuh itu yang akhirnya membuat aku khilaf.”
“Khilaf?? Dua bulan lebih kamu bilang khilaf??” Ucapku penuh emosi, hampir-hampir aku menitikkan air mata.
“Maaf, Ay. Aku tau aku salah. Tapi aku bakal lebih salah lagi kalo aku nerusin ini semua. Kamu saja yang baru hitungan bulan sudah merasa begitu sakit begitu aku tinggalkan. Bagaimana Rina nantinya, Ay?”
Aku menelan ludah, aku benar-benar marah. Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya.
“Jadi kamu lebih milih aku yang sakit hati di banding Rina yang sakit hati??”
“Bukan kayak gitu juga, Ay. Kamu harus ngerti. Aku udah lama banget sama dia. Gak segampang itu.” Kata-katanya terhenti, ia hanya melanjutkannya dengan gelangan kepala pertanda bahwa ia juga tidak habis pikir dengan keputusannya. Terlebih aku, aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang baru saja aku dengar.
“Gila kamu, Jun!” Ucapku kehabisan kata menggambarkan betapa kecewanya aku. Akupun segera bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan Juna. Ia pun hanya tertunduk lemas, memandangku pun ia tak sanggup.

***

Hatiku sakit, kenyataan begitu pahit. Kenapa aku bisa sebodoh ini??  Aku tenggelam pada masalah cinta yang harusnya sejak awal bisa aku hindari. Aku bodoh. Sangat bodoh. Hari ini hatiku benar-benar kacau. Dan itu sangat berpengaruh pada sistem kerja otakku. Aku menjadi lebih emosi, emosi yang aku keluarkan hanya berupa butiran-butiran air mata. Aku kalut. Aku terus berpikir dalam emosi, namun semua pikiran-pikiranku tak pernah jernih. Dalam keadaan seperti ini sulit bagiku untuk berpikir positif. Perasaanku pada Juna sudah terlalu dalam. Kini ia meninggalkanku dengan alasan yang belum bisa kuterima, dan aku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku menyulut batang rokokku dengan penuh amarah, menghisapnya begitu dalam. Begitu dalam seperti kesedihanku. Tapi ini tidak cukup, aku ingin minum Vodca-ku. Ah,untung saja masih sisa seperempat botol. Aku langsung menenggaknya tanpa kutuang dulu kedalam gelas. Seperti biasa, satu tegukan cukup untuk menamparku, membangunkanku dari mimpi, menyadarkannku.
Aku sudah bisa mengontrol emosiku, pelan-pelan kegelisahan yang dibalut kesedihan mulai memudar. Kuteguk lagi dan lagi hingga botol benar-benar kosong. Nuraniku mulai bicara pada diriku, “Sadar, Ay.. Lo udah dipermukaan. Lo udah selamat dari tenggelam.”
Segala emosi sudah ku hanyutkan, tapi kini masih tersisa perih. Tak apalah, keperihan dan kesakitan bisa diminimalisir, bisa dicari obatnya. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Aku butuh sebotol Vodca lagi. Aku mengirim pesan singkat pada temanku untuk membawakan sebotol Vodca untukku, aku enggan beranjak dari kamarku. Sembari menunggu pesanan datang, aku melinting lagi sebatang ganja untukku hisap. Sekitar lima belas menit kemudian temanku Abiet datang membawa Vodca. Dia sudah terbiasa dengan pesanan dadakan seperti ini, dan dengan setia ia selalu datang membawa pesanan tepat waktu. Aku menyuruhnya masuk,membayar Vodca itu dengan selembar uang seratus ribu rupiah.
“Itu sama utang gue yang sebotol lagi minggu lalu ya, Bit.”
“Haha.. Oke. Wah, lagi ngebakar nih.. masih ada, Ay?” Tanya Abiet seraya menerima uang dariku. Ah, dia pasti ingin ikut nimbrung menikmati ganjaku. Aku enggan ditemani siapapun malam ini.
“Ada bit, nih sedikit lagi. Bawa pulang aja ya, gue lagi pengen sendiri. Gak apa-apa kan?” Jawabku sembari menyerahkan sisa ganjaku yang masih dalam bungkusan.
“Wah, gak apa-apa dong. Yang penting gue dapet gratis. Hehe. Yaudah gue balik ye.. thanks banget nih buat amunisinya.”
“Sip, thanks juga titipannya.”
Aku menutup pintu kamarku begitu Abiet pamit pulang. Aku segera menikmati Vodca ku. Lagi-lagi tanpa aku racik. Ah, tak apalah. Yang aku butuh saat ini adalah efeknya, bukan rasanya. Tapi beginipun rasanya juga nikmat. Setengah botol sudah habis kuteguk. Kini aku berasa sedikit pusing, tapi pusing yang ini jauh lebih nikmat dibanding pusing sebelum meneguk alkohol 40% ini. Pusing kali ini terasa ringan, tidak berat seperti sebelumnya. Otakku bekerja, aku sekarang sadar bahwa ini memang hal yang patut aku terima, bukankah sejak awal aku siap menerima resiko ini? Haha. Aku tertawa menyadari betapa tololnya aku saat menangis tadi. Benar-benar tolol. Sampai aku terlelap pun  aku terus menyatakan bahwa aku begitu tolol.

***

Hari ini sudah tepat seminggu sejak aku dan Juna tidak lagi berhubungan. Dan aku sudah mulai bisa menerimanya dengan segala kesadaran diri. Memang sakit hatiku belum kunjung sembuh total, tapi aku merasa sudah cukup pulih. Tak ada alasanku untuk terus membenci Juna, lagi pula kami adalah teman satu forum, tak mungkin kami tidak saling bertegur sapa karena terbentur masalah personal. Hari-hari kembali sepeti biasa dimana pada awalnya aku hanya berteman dengan Juna. Kami masih sering berbincang-bincang menegenai forum, sesekali kami masih menyelikan guyonan-guyonan agar suasana tidak terlalu kaku. Dan aku mulai terbiasa melihat kebersamaan Juna dengan Rina didepan mataku, walau tak aku pungkiri aku terkadang merasa sedikit cemburu. Tapi ya sudahlah, ini jalan yang harus aku lalui. Jalan yang sudah terlanjur kubentuk dalam kehidupanku.
Aku duduk didepan komputerku siang ini, hari ini tak ada kelas, jadi aku bisa seharian di kamar kost-ku untuk menulis beberapa artikel atau sajak seperti biasanya. Menuangkan pikiran lewat kata adalah salah satu kegemaranku. Itulah alasannya aku memilih kuliah jurusan Jurnalistik yang sedikit banyak ada keterkaitannya dengan menulis. Dan mengikuti forum UKM teater juga menjadi pilihanku agar cara berpikirku semakin luas.
Saat sedang asik menikmati bebasnya berpikir, aku dikagetkan oleh suara ketukan pintu kamarku. Ketika kubuka pintu itu, aku mendapati sesesok wanita yang sebaya denganku berdiri seoarng diri. Wanita itu adalah Rina. Aku sedikit terkejutdengan kehadirannya, tidak seperti biasa ia mengunjungi kostan tempatku tinggal.
“Hai, Ay.. ganggu gak?” Sapa Rina lembut seperti biasanya. Rina yang selama ini aku kenal adalah pribadi yang ramah, lembut dan bersahaja. Wajahnya sangat manis, cara berdandannya pun begitu sedap dipandang, sederhana dan feminim. Pantaslah kalau Juna sulit untuk meninggalkannya.
“Hai juga, Rin. Nggak kok, gak ganggu. Ada perlu apa Rin? Masuk dulu deh jangan didepan pintu. Gak enak. Hehe.” Jawabku seramah mungkin. Rina pun melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar kostku. Aku mempersilahkannya duduk diatas kasur, mengambilkannya segelas air putih.
“Makasih, Ay. Maaf ya dateng tiba-tiba. Aku emang sengaja dateng kesini untuk ketemu kamu. Aku mau berdiskusi mengenai artikel sosial yang berkaitan dengan doktrin sama kamu. Itu loh, tugas mata kuliahnya Pak Gino. Kamu kan masternya kalau sudah bicara soal doktrin. Siapapun tau itu. Hehe.” Papar Rina menjelaskan maksud tujuannya bertemu denganku. Dan itu membuatku sedikit lega, aku kira kunjungannya ini ingin bicara padaku soal Juna. Ternyata perkiraanku salah, sepertinya Rina tidak pernah mengetahui mengenai hubunganku dengan Juna yang dulu aku sembunyikan.
“Wah, bisa aja kamu, Rin. Aku kan bukan aktifis. Tapi okelah kalo kamu memang ingin berbincang denganku soal ini. Kita mulai dari mana percakan kita?” Sambutku terbuka.
“Hmm.. dari mana ya? Memang apa sih latar belakang kamu menulis artikel-artikel macam itu? Berita sosial politik?”
“Banyak, Rin. Dari berita sampai yang aku lihat sendiri dikenyataan. Kita kan negara demokrasi. Apapun yang berkaitan tentang pemerintahan selalu dibuka gamblang, walau kebohongan-kebohongan tutur kata selalu terselip dari para pejabat negara. Ya, aku hanya meneliti, mengamati dan mencoba merasakan semua itu. Dan hasilnya aku tuang lewat artikel atau sajak kenegaraan sekalipun.”
“Nah, itu dia, Ay. Aku kurang tertarik kalau bicara soal negara. Aku enggan memikirkan segala sesuatu yang berurusan soal politik. Apalagi dinegara kita ini, sudah terlanjur kotor dan tidak peka.” Ucap Rina berargumen, dan aku suka akan argumennya itu. Ia benar, politik di negara kami sudah terlanjur kotor dan tidak peka. Tapi sekali lagi, ini adalah negara demokrasi, aku berhak menunjukan segala amarahku akan sistem yang gagal ini.
“Memang sih, tapi mau tidak mau kamu harus ikut tenggelam merasakan itu semua. Gini aja deh, kamu liat aja yah beberapa artikelku tentang politik, sajak-sajaknya juga ada. Ya emang jauh dari kata bagus sih, tapi mungkin bisa buat referensi. Hehe.” Kataku memberi masukkan sembari melangkah kedepan komputerku untuk membuka folder yang berisi beberapa artikel yang akan aku tunjukan pada Rina. Rina pun terbangun dari duduknya dan menghampiriku, ia berdiri disamping kiriku dengan sedikit menundukan badannya agar pandangannya sejajar dengan layar komputerku.
“Wah, lumayan banyak ya, Ay. Boleh aku baca semua?”
“Ya boleh dong Ay. Kan emang aku yang nyaranin. Yaudah, kamu duduk deh sambil baca-baca. Aku mau mandi dulu, gak apa-apa kan? Udah hampir sore, aku belum mandi dari pagi. Hehe.”
“Haha. Jorok kamu. Yaudah gak apa-apa kok. Mandi aja.”
Aku melangkah menuju kamar mandiku, aku ingin bebersih diri. Rina kubiarkan duduk didepan komputerku sembari membaca beberapa artikelku. Tetapi baru saja aku melepas pakaianku, Rina berteriak dari depan pintu kamar mandiku.
“Ay, artikel kamu panjang-panjang banget. Aku copy ke flesdiskku aja ya. Nanti aku baca dirumah. Boleh kan?” Ucapnya lantang. Aku pun menjawabnya dengan lantang agar ia mendengar jawabankku dari dalam kamar mandi.
“Iya, Rin.. gak apa-apa. Copy aja.”
“Oke, Thanks, Ay..”
Aku melanjutkan diri untuk bebersih. Setiap air yang jatuh ditubuhku terasa begitu segar. Aku ingin sedikit lebih lama lagi menikmati kesegaran ini. Kira-kira lima belas menit kemudian aku telah selesai mandi, pakaian ganti pun sudah aku kenakan. Aku membuka pintu kamar mandiku, dan aku tidak mendapati Rina berada dikursi duduknya semula. Pintu kamarku pun terbuka lebar. Aku melangkah kedepan layar komputerku yang masih menyala.Dan aku mendapati folder yang berisi koleksi foto-foto pribadiku terbuka, dan diantara semua foto itu, cukup banyak foto-foto mesraku dengan Juna. Daya pikirku segera bekerja cepat. Rina pasti telah melihat ini semua. Dan sekarang ia pasti pergi menemui Juna untuk meminta penjelasan akan bukti-bukti ini. Ah, kenapa foto-foto ini belum aku hapus?? Kenapa harus terjadi sedemikian rupa??. Aku harus menjelaskannya pada Rina. Aku tak mau Juna dan Rina bertengkar karena kesalahanku. Aku bergegas pergi ke kostan Juna, pasti mereka tengah bertengkar hebat. Aku mau menjelaskanpada Rina semuanya. Ya, semuanya.
Aku membuka pintu kamar kost Juna tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dan disitu aku mendapati Juna sedang terduduk di depan layar komputernya seorang diri. Ya, seorang diri. Rina tidak berada disana. Wajah Juna sedikit kaget melihatku yang datang tiba-tiba dengan nafas yang tersengal. Aku menghampirinya, mengatur nafasku dan mulai bicara dengan terus berusaha agar tetap tenang.
“Jun.. Rina tadi ke kostan aku. Dan tanpa aku tau dia membuka-buka folder yang isinya beberapa foto-foto mesra kita. Sumpah aku gak tau, aku gak sengaja, Jun.”
“Kamu tenang deh, jangan panik gitu ngomongnya. Jelasin ke aku pelan-pelan.” Juna mencoba menenangkanku yang memang sangat panik. Aku menarik napas dan meneruskan penjelasanku.
“Iya, pas aku keluar dari kamar mandi tiba-tiba Rina udah gak ada dikamarku, Jun. Dan aku ngeliat layar komputerku. File-file foto kita terbuka, Jun. Pasti dia ngeliat. Aku harus jelasin sama dia. Itu hanya masa lalu kita berdua, Jun.” Paparku sedikit lebih tenang.
“Udah kamu jangan mikir yang macem-macem dulu, Ay. Kamu harus tenang, nanti kita jelasin berdua sama Rina. Semua bisa dibicarakan baik-baik.” Kata Juna menenangkan, walau aku sendiri melihat sedikit kegelisahan di raut wajahnya.
“Tapi aku gak enak sama Rina, Jun. Aku merasa bersalah, aku mau minta maaf.”
Juna menghampiriku, memelukku dengan hangat agar aku lebih tenang. Dan caranya itu selalu berhasil membuat diriku lebih terkontrol. Aku melepaskan pelukan itu dan memandangnya penuh rasa bersalah. Juna hanya mengusap lembut bahuku. Kami berdua saling diam dalam pikiran masing-masing, kami saling menyandarkan tubuh kami satu sama lain. Namun tiba-tiba suara tembakan senapan memecah keheningan diantara kami berdua. Suara ledakan senapan itu begitu menggelegar ditelingaku. Aku terkejut bukan main manakala menyadari bahwa Juna telah terjatuh karena peluru dari senapan itu sudah menembus bagian dadanya. Aku melihat ke arah pintu kamar Juna, Rina berdiri didekatnya sembari memegang senapan itu dengan gemetar. Ia terlihat sangat marah, matanya menatapku dengan penuh kebencian. Aku melirik kearah Juna yang sudah terkapar tak berdaya. Aku gemetar.
“Rin, aku bisa jelasin semuanya. Ini enggak seperti yang kamu lihat. Tolong jatuhkan senapanmu. Aku mohon. Jangan gegabah.”  Aku memohon dengan sangat pada Rina, aku berucap terbata-bata. Aku shock.
Rina hanya mengeleng-gelang sembari menahan segala rasa kekecewaan, air mata terjatuh dari pelupuknya. Tapi ia tetap mengarahkan senapannya itu kearahku. Aku semakin takut ketika aku melihat jarinya akan menarik pelatuk dari senapan itu. Tubuhku kaku. Dan tiba-tiba suara tembakan terdengar untuk yang kedua kalinya. Aku terjatuh. Aku merasa ada sesuatu yang menembus perutku. Rasanya luar biasa sakit, peluru itu menembus perutku, mungkin bersarang kelambungku. Aku pucat pasi. Rina menjatuhkan senapannya. Dan pergi meninggalkan aku dan Juna yang sudah tak berdaya. Tanganku terus menetupi lubang peluru diperutku. Aku melihat Juna yang berada disamping kiriku. Matanya sudah tertutup rapat. Aku tak melihatnya bernapas. Aku terpukul. Aku mencium bibirnya. Aku berusaha mengambil ponselku dari saku celana. Kutekan nomor telepon kantor polisi. Dengan terbata-bata aku memberi tau bahwa ada korban tembakan dialamat yang aku sebutkan. Aku menjatuhkan ponselku dan berusaha untuk berdiri. Aku ingin mencari Rina, aku masih ingin menjelaskan semuanya pada Rina.
Aku terus berjalan dengan susah payah. Napasku sungguh terasa berat. Aku terus menerus menutupi luka tembakku dengan telapak tangan. Darahnya sudah mulai banyak keluar. Semua orang yang ada disekitarku melihat dengan wajah bertanya-tanya. Aku tidak peduli. Aku terus berjalan dan berjalan. Kakiku mulai terasa sangat berat, udara yang dingin merasuk keseluruh tubuhku. Aku menjatuhkan diriku ke tanah. Mencoba mengatur napas. Namun semakin lama pandanganku semakin berkunang-kunang. Lalu tiba-tiba gelap. Ya, sangat gelap. Dan muncul sosok Juna dalam kegelapanku itu, menghampiriku, dan mengucapkan kata maaf, lalu hilang begitu saja. Kegelapan menghantuiku lagi setelah bayangan Juna menghilang.

***

Mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit. Aku memperhatikan seluruh ruangan dimana aku terbaring. Aku tak tau ini dimana. Aku seperti terbangun dari mimpi. Terbangun dari tidur panjang. Aku berusaha untuk bangkit dari tidurku. Namun aku tak kuat untuk bangun, sekitar perutku begitu terasa perih. Dan suara seseorang laki-laki paruh baya yang datang dari luar ruangan menyadarkanku.
“Jangan terlalu banyak bergerak. Luka tembakmu belum pulih.”
Aku memejamkan lagi mataku, kali ini aku merasa air mata mengalir melewati pipiku.

           
Jakarta, 9 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar