Empat pasang kaki
melangkah di hadapanku. Masing-masing membawa beban dipunggungnya. Mungkin
Advance, Eiger, Alpina atau Cibaduyut punya. Semuanya kaum Adam. Usia mereka
mungkin tak jauh dariku. Mereka begitu terlihat kusam dengan rambut yang sudah
tak tertata dan sedikit berminyak.
Setelah beberapa
meter berlalu dari hadapanku, mereka berhenti ditempat duduk yang tersedia di
stasiun. Mungkin jaraknya 6 meter dari tempatku duduk saat ini.Mereka
menjatuhkan tubuhnya masing-masing pada sandaran kursi tunggu. Sepertinya mereka
kelelahan, atau ingin menunggu keberangkatan kereta yang menjadi tujuan mereka.
Namun argumenku dipatahkan oleh realita yang kulihat. Mereka tidak sedang dilanda kelelahan. Canda riang yang tiba-tiba keluar dari keempat anak Adam ini meyakinkanku bahwa mereka tidak sedang lelah, malah mereka sedang menikmati situasi. Dan sleeping bag yang mereka keluarkan menandakan kalau mereka tidak sedang menunggu keberangkatan salah satu tujuan kereta malam ini. Mereka ingin bermalam disini. Di stasiun Gambir.
Mereka semua adalah backpacker. Ya, backpacker. Sebutan untuk orang yang hobi berpergian, tapi bukan traveling, ini lebih menantang, seorang backpacker dituntut untuk tidak manja, dengan kata lain mereka harus siap dengan kondisi terburuk sekalipun. Ya contohnya seperti mereka itu, siap tidur disembarang tempat dengan alasan menghemat pengeluaran finansial atau alasan lainnnya.
Namun argumenku dipatahkan oleh realita yang kulihat. Mereka tidak sedang dilanda kelelahan. Canda riang yang tiba-tiba keluar dari keempat anak Adam ini meyakinkanku bahwa mereka tidak sedang lelah, malah mereka sedang menikmati situasi. Dan sleeping bag yang mereka keluarkan menandakan kalau mereka tidak sedang menunggu keberangkatan salah satu tujuan kereta malam ini. Mereka ingin bermalam disini. Di stasiun Gambir.
Mereka semua adalah backpacker. Ya, backpacker. Sebutan untuk orang yang hobi berpergian, tapi bukan traveling, ini lebih menantang, seorang backpacker dituntut untuk tidak manja, dengan kata lain mereka harus siap dengan kondisi terburuk sekalipun. Ya contohnya seperti mereka itu, siap tidur disembarang tempat dengan alasan menghemat pengeluaran finansial atau alasan lainnnya.
Aku kembali
memperhatikan kawanan backpacker itu
sembari terus menuangkannya lewat tulisan dalam laptopku ini. Sesekali salah
satu diantaranya –yang membawa carrier
merah- menangkap tatapanku yang sedang asik mengamati. Lalu lama kelamaan
keempatnya ikut pula memandang kearahku. Mungkin si pengguna carrier merah
memberikan kode-kode tertentu pada kawannya yang lain agar menoleh kearahku
dengan mengatakan “Liat ke arah jam sembilan, ada cewek cantik sendirian
malem-malem maen laptop distasiun.” Haha (intermezo dikit).
Jadilah aku sedikit salah tingkah karena diperhatikan empat pasang mata yang tidak aku kenal. Tapi aku berusaha untuk tetap terlihat santai dengan melemparkan senyum ramah yang disertai sedikit anggukan kepala kearah mereka. Dan syukurnya, mereka membalas senyumanku. Aku membuang muka kembali ke arah laptop, melajutkan tulisanku ini.
Melihat sekumpulan backpacker seperti ini membuatku merasa iri, aku juga ingin menjadi salah satu diantara mereka. Mengembala ke tempat-tempat yang tak terduga. Tidur dengan mencium aroma tanah yang basah atau debu yang menyengat sekalipun. Aku ingin merasakan hujan deras ditubuhku yang dibalut ponco atau jas hujan. Aku ingin pakaianku berlemarikan Advance 100 liter. Aku ingin tidur dibungkus sleeping bag. Aku ingin luasnya langit menjadi benda terakhir yang kulihat sebelum aku menjelajah kedunia mimpi.
Tapi rasanya saat ini itu hanya sebuah angan kosong, aku masih belum mendapat ijin dari bapakku untuk melakukan itu semua. Lagi pula masalah ekonomi menjadi salah satu faktor yang ikut mempengaruhi tertundanya keinginanku ini. Mana mungkin aku menjadi seorang backpacker dengan ongkos jalan dari orang tua? Itu tabu bagiku. Untuk masalah finansial yang tak ada kaitannya dengan pendidikan aku tak mungkin menengadahkan tangan pada orang tuaku. Pantang buatku. Mau tak mau setidaknya aku harus memiliki pekerjaan sendiri untuk hasilnya nanti dapat membiayai petualanganku. Dan ketika saat itu tiba pun belum tentu aku diijinkan untuk menjadi backpacker oleh bapakku. Aku ini wanita, anak gadis, orang tua mana yang tidak kuatir anak gadisnya menjadi seorang backpacker? Aku rasa tidak ada. Huh. Bersyukurlah kalian kaum Adam.
Jadilah aku sedikit salah tingkah karena diperhatikan empat pasang mata yang tidak aku kenal. Tapi aku berusaha untuk tetap terlihat santai dengan melemparkan senyum ramah yang disertai sedikit anggukan kepala kearah mereka. Dan syukurnya, mereka membalas senyumanku. Aku membuang muka kembali ke arah laptop, melajutkan tulisanku ini.
Melihat sekumpulan backpacker seperti ini membuatku merasa iri, aku juga ingin menjadi salah satu diantara mereka. Mengembala ke tempat-tempat yang tak terduga. Tidur dengan mencium aroma tanah yang basah atau debu yang menyengat sekalipun. Aku ingin merasakan hujan deras ditubuhku yang dibalut ponco atau jas hujan. Aku ingin pakaianku berlemarikan Advance 100 liter. Aku ingin tidur dibungkus sleeping bag. Aku ingin luasnya langit menjadi benda terakhir yang kulihat sebelum aku menjelajah kedunia mimpi.
Tapi rasanya saat ini itu hanya sebuah angan kosong, aku masih belum mendapat ijin dari bapakku untuk melakukan itu semua. Lagi pula masalah ekonomi menjadi salah satu faktor yang ikut mempengaruhi tertundanya keinginanku ini. Mana mungkin aku menjadi seorang backpacker dengan ongkos jalan dari orang tua? Itu tabu bagiku. Untuk masalah finansial yang tak ada kaitannya dengan pendidikan aku tak mungkin menengadahkan tangan pada orang tuaku. Pantang buatku. Mau tak mau setidaknya aku harus memiliki pekerjaan sendiri untuk hasilnya nanti dapat membiayai petualanganku. Dan ketika saat itu tiba pun belum tentu aku diijinkan untuk menjadi backpacker oleh bapakku. Aku ini wanita, anak gadis, orang tua mana yang tidak kuatir anak gadisnya menjadi seorang backpacker? Aku rasa tidak ada. Huh. Bersyukurlah kalian kaum Adam.
Ketika
pikiran-pikiranku dipenuhi mimpi menjadi seorang backpacker, seorang pemuda
berperawakan cukup tinggi dan ideal menyapaku dari samping kanan.
“Hei..”
Aku menoleh dan
memperhatikannya untuk beberapa detik. Oh, ternyata pemuda yang tadi. Si
empunya carrier merah. Aku tersenyum,
namun tidak terlalu ramah. Cepat-cepat aku membuang muka ke arah layar
laptopku, berharap pemuda itu segera meninggalkanku sendiri. Tapi aku salah.
Dia malah melanjutkan sapaannya dengan sedikit pertanyaan ramah. Dan ini
membuatku tidak enak untuk tidak menjawabnya dengan ramah pula.
“Sendiri?” kata
pemuda itu.
“Iya” aku menjawab
seraya tersenyum. Dan balik mengajukan pertanyaan “Ada apa ya, bang?”
“Ya, gak apa-apa.
Heran aja ada cewek sendirian di stasiun. Mau pulang kampung apa gimana nih?”
“Haha.. emang muka
gue kayak orang kampung ya bang? Gue iseng doang kok kemari. Nyari inspirasi.
Hehe.” Kali ini aku menatapnya, wajahnya kira-kira setipe dengan Raka (gitaris
band Vierra), rambutnya pun kurang lebih sama, kalau Raka memang sengaja ditata
agar terlihat berantakan, namun pemuda ini memang sepertinya tidak menata
rambutnya sehingga sedemikian rupa. Kulitnya sawo matang dan cukup bersih.
“Haha.. bukan gitu
juga. Inspirasi apa? Penulis ya? Oia kenalan dulu, gue Abi.” Ucapnya seraya
menyodorkan tangan. Akupun meyambutnya dengan jabatan.
“Tata (gue gak pernah
nyebutin nama asli ketika berkenalan dengan orang asing), enggak bang.. kok
bisa nebak gue penulis?”
“Bukan nebak, tapi
atas dasar pengamatan. Noh, lo bukanya word document, udah penuh juga
tulisannya.” Jelas pemuda bernama Abi ini seraya menunjuk layar laptopku.
“Hehe iya juga ya..
tapi gue bukan penulis bang. Cuma sedikit suka nulis. Itu pun hal-hal yang gak
pernah jelas yang gue tulis.” Aku memaparkan secara jujur.
“Ahh, merendah nih.”
Lalu Abi menolehkan wajah kearah kawan-kawannya yang lain ketika salah satu
diantaranya memanggil Abi. Entah bicara apa Abi dengan kawannya itu, mereka
hanya menggerakan bibir masing-masing. Lalu Abi kembali bicara padaku, “Gabung
yukk ama temen-temen gue. Biar lo ada temen ngobrol.” Aku hanya mengangguk,
namun belum juga beranjak dari tempat dudukku.
“Iya, bang. Duluan
aja.”
“Yee.. gak usah takut
gitu kali, kayaknya takut banget.. hehe. Kita bukan penjahat kok, cuma sekumpulan
backpacker. Lagian kan ini stasiun
rame. Bisa digebukin gue kalo jahatin orang. Hehe. Yuk gabung.” Abi meyakinkan,
mungkin karena ia melihat sedikit keraguan yang tampak diwajahku saat Abi
mengajakku nimbrung dengan kawan-kawannya yang lain.
“Haha.. Yaudah bang,
oke deh.” Kataku mengiyakan ajakannya.
Aku berkenalan dengan
ketiga kawan Abi. Mulai dari Aska, Dodi dan Hilman. Aska memiliki raut wajah
yang paling terlihat muda dari yang lainnya, badannya juga bisa dibilang kecil
untuk ukuran laki-laki. Sedangkan Dodi nampak seperti pemimpin rombongan,
karena ia terlihat seperti yang paling dewasa diantara yang lain. Sedangkan
Hilman tidak jauh beda dengan Abi secara postur tubuh, namun Hilman
berperawakan asia timur. Seperti kokoh-kokoh penjual alat elektronik di Mangga
Dua. Hehe.
Aku banyak bercerita
dengan mereka, sebaliknya mereka pun demikian. Kadang kami menyelipkan
guyonan-guyonan kecil pada cerita-cerita kami. Dan itu membuat suasana menjadi
lebih akrab. Ini yang aku suka dari seorang backpacker,
mereka selalu ramah pada siapapun. Termasuk orang asing yang baru mereka kenal.
Sembari sedikit demi
sedikit aku mengetik tulisan ini, aku terus berbincang bincang dengan
keempatnya. Dan semakin kesini pembicaraan semakin asik. Aku tak mau
ketinggalan pembicaraan-pembicaraan ini. Jadi, ada baiknya aku berhenti
mencatat tulisan ini. Aku akan menceritakan lagi apa yang kami perbincangkan
nanti. Oke? Hehe.. to be continue.
Stasiun Gambir, 7 Februari 2012.02.13 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar