Pagi ini aku tiba
dirumah sekitar pukul 08.00 WIB. Sesegera mungkin aku membuat sarapan dan
memakannya. Perutku lapar sekali sejak tadi malam. Tak ada yang aku makan sejak
berada di Stasiun, hanya minum, minum dan minum. Entah itu kopi hitam panas,
Ekstra Joss dingin, air mineral dan sekaleng Greens Sands.
Nasi putih dan telur mata sapi yang kusantap pagi ini begitu nikmat rasanya setelah rasa lelah menghampiri tubuhku yang mulai terlihat lusuh. Setelah makan, aku menyempatkan diri untuk menonton televisi sembari rebahan untuk melemaskan otot yang menegang. Mungkin sekitar 60 menit aku bersantai ria didepan televisi. Aku melihat arah jam dinding, sudah hampir pukul 10.00 WIB. Badan terasa begitu lengket dan berdebu, tapi aku malas untuk membersihkan diri. Aku masih punya hutang untuk melanjutkan ceritaku tentang dini hari di Gambir tadi. Denagn berat aku pergi ke kamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan membasuh wajah agar terasa lebih segar hingga sedikit kantuk yang kurasakan juga hilang.
Nasi putih dan telur mata sapi yang kusantap pagi ini begitu nikmat rasanya setelah rasa lelah menghampiri tubuhku yang mulai terlihat lusuh. Setelah makan, aku menyempatkan diri untuk menonton televisi sembari rebahan untuk melemaskan otot yang menegang. Mungkin sekitar 60 menit aku bersantai ria didepan televisi. Aku melihat arah jam dinding, sudah hampir pukul 10.00 WIB. Badan terasa begitu lengket dan berdebu, tapi aku malas untuk membersihkan diri. Aku masih punya hutang untuk melanjutkan ceritaku tentang dini hari di Gambir tadi. Denagn berat aku pergi ke kamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan membasuh wajah agar terasa lebih segar hingga sedikit kantuk yang kurasakan juga hilang.
Setelah merasa
sedikit segar aku kembali kedalam kamarku yang tak pernah tertata rapi.
Melanjutkan sisa kisah yang sempat berhenti kutulis karena terlalu asik
berbincang dengan keempat teman bicaraku dini hari tadi.
Keempat backpacker tadi adalah
mahasiswa-mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta angkatan 2008 yang
sedang mengisi masa liburan mereka dengan memenuhi hobinya berpetualang
kebanyak tempat. Mereka baru saja tiba di Gambir setelah sebelumnya berangkat
dari salah satu stasiun di kota kembang. Ternyata mereka baru saja sedikit
menjelajahi dataran Sunda. Dari Bandung,
Garut, Cirebon, Tasikmalaya, dan kembali lagi ke Bandung. Dan datangnya mereka
ke Jakarta ini, tepatnya di Stasiun Gambir. Hanyalah untuk melepas lelah, karena
siang ini mereka berencana untuk melanjutkan petualangan mereka ke Batam dengan
menggunakan transportasi udara dari bandara Soekarno-Hatta.
Beruntung sekali aku bertemu dengan mereka di stasiun ini, terlebih mereka baru saja pulang dari petualangannya di tanah Sunda, tanah yang pada dasarnya adalah kota asal keluargaku. Dan otomatis aku sedikit banyak tahu mengenai seluk-beluk tempat-tempat itu. Aska, yang paling banyak bicara dan paling jenaka memaparkan segala pengalaman mereka saat berada di Garut.
Beruntung sekali aku bertemu dengan mereka di stasiun ini, terlebih mereka baru saja pulang dari petualangannya di tanah Sunda, tanah yang pada dasarnya adalah kota asal keluargaku. Dan otomatis aku sedikit banyak tahu mengenai seluk-beluk tempat-tempat itu. Aska, yang paling banyak bicara dan paling jenaka memaparkan segala pengalaman mereka saat berada di Garut.
“Wah, gila Ta. Gue
baru ngeliat ada domba gedeee banget di Garut, bagus banget. Pas gue tanya
harganya sama yang punya, gue langsung bengong, 35 Juta, Ta.! Gila, gue bisa
keliling Sumatra kali ya tuh.. niatnya pengen gue bawa kabur tuh domba. Tapi gue
baru inget, gue juga udah punya domba yang lebih gede. Hahaha.” Cerita Aska
sembari melirik Dodi. Dodi hanya mengumpat dan ikut tertawa. Begitupun Aku, Abi
dan Hilman. Tawa kami semakin memecah malam manakala sesekali secara bergiliran
mereka mengeluarkan kata-kata yang menggelikan dan konyol. Dan ketika tawa
sudah mulai sayup-sayup mereka melemparkan beberapa pertanyaan singkat padaku.
Tinggal dimana? Kuliah apa kerja? Ngambil jurusan apa? Dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang melengkapi pertanyaan pokok tersebut. Aku
menjawabnya, dan lalu kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada keempatnya.
Abi adalah hasil
kawin silang dari darah Jogjakarta dan Banten. Aska asli orang Jogjakarta.
Hilman keturunan Medan, nama lengkapnya Hilman Sihombing. Dan Dodi ternyata
asli keturunan betawi, domisilinya di kota Depok. Namun karena kepentingan
pendidikan, jadilah ia menetap secara kontrak disebuah kamar kost di kota
Jogjakarta. Begitu pula dengan Abi dan Hilman, keduanya juga menyewa
kost-kostan disekitar kampus UGM Jogja. Sedangkan Aska, masih tinggal bersama
kedua orang tuanya, namun tidak jarang Aska bermalam di salah satu kostan
kawan-kawannya ini.
“Eh iya, lo gak
dicariin sama ortu lo, Ta? Udah hampir pagi nih.” Kata Abi disela-sela guyonan
kami.
“Dicariin sih, ya
tapi entar aja deh, lagi asik.hehe.”
“Ya, bagus deh.. Jadi
lebih banyak kan waktu ngobrolnya.” Sambung Aska sedikit menggoda. Aku hanya
tersenyum kecil.
“Eh iya, Ta. Tadi lo
bilang lo orang Tasik kan? Dimananya tuh?” Tanya Dodi tiba-tiba.
“Gue di Singaparna.
Sampingnya Singapur. Hehehe. Kenapa? kemaren kesitu?”
“Enggak, kita buta
banget Tasik pas kesana, cuma ke Pelabuhan Ratu doang.” Saut Dodi.
“Iya, Ta.. ada apa
aja sih emang di Tasik?? Kemaren kan kita ke Bandung, jelas banyak objek-objek
yang kita datengin, kayak Tangguban
Perahu, Kawah Putih dan lain-lain. Terus pas ke Garut emang jelas kita pengen
tau hal-hal mengenai Domba Garut yang udah membudaya banget itu. Nah pas ke
cirebon kita pergi ke tambak udang. Giliran udah nyampe Tasik kita bengong, gak
ada tujuan. Yang gue tau cuma Pelabuhan Ratu. Itu juga dari TV. Hehehe” Sambung
Aska.
“Waah, kalo di Tasik
emang menurut gue sih gitu-gitu aja.. hehehe. Paling ada kawah Galunggung sama
Cipanas.” Mereka mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku. “Oh iya, tapi ada
yang asik juga tuh, pedalaman suku gitu. Namanya Kampung Naga. Next lo semua
harus kesitu.”
“Wah, emang penduduk
umum dari luar boleh masuk?” Tanya Hilman. Disertai beberapa pertanyaan lainnya
dari yang lain mengenai Kampung Naga. Aku menjawab sepengetahuanku, dan
sepertinya mereka cukup interest dengan penjabaranku mengenai Suku ini.
“Lain kali ikut kita packer-an dong, Ta. Kayaknya nambah temen
enak nih.” Ajak Abi.
“Haha.. pengennya sih
gitu. Gue udah lama punya keinginan untuk ikut jadi backpacker. Tapi belum dapet ijin dari bokap gue. Biasa cewek,
selalu diperlakukan lebih protektif dibanding cowok. Hehe.” Mereka mengangguk
angguk mengerti.
Obrolan kami pun semakin pagi semakin panjang saja. Tidak hanya soal hobi dan tempat-tempat yang asik di Indonesia yang bakal menjadi tempat tujuan mereka nanti, tapi juga soal pribadi. Seperti keluarga, dan tidak ketinggalan soal cinta. Karena suasana perbincangan semakin hangat, tanpa sadar aku banyak bercerita tentang masalah asmaraku. Mulai dari yang senang, sampai yang sedikit melow. Dan ketika menyadari aku telah banyak berkoar masalah cinta pada mereka, aku sedikit malu dan salah tingkah.
Obrolan kami pun semakin pagi semakin panjang saja. Tidak hanya soal hobi dan tempat-tempat yang asik di Indonesia yang bakal menjadi tempat tujuan mereka nanti, tapi juga soal pribadi. Seperti keluarga, dan tidak ketinggalan soal cinta. Karena suasana perbincangan semakin hangat, tanpa sadar aku banyak bercerita tentang masalah asmaraku. Mulai dari yang senang, sampai yang sedikit melow. Dan ketika menyadari aku telah banyak berkoar masalah cinta pada mereka, aku sedikit malu dan salah tingkah.
“Haha.. kenapa, Ta?”
kata Abi yang menyadari kesalah tingkahanku.
“Gak papa.. baru
nyadar aja gue kalo ngomong banyak gini. Jatohnya gue curhat colongan. Hahaha.
Tengsin kali. Ini bukan topik yang harusnya dibicarakan sama orang-orang backpacker kayak kalian.” Kataku
cengengesan.
“Heeei..Heei. Cinta
itu universal, Ta. Luas. Emang cuma musisi dan sastrawan doang yang bisa
merasakan cinta? Kita-kita orang juga kan peka masalah kayak gitu. Tapi bedanya
kita mungkin lebih santai menanggapinya. Karena kisah-kisah macam itu bukan
menjadi dasar pemikiran kita saat kita menjalani kegiatan backpacker ini. Kan kalo musisi dan sastrawan jatohnya menuangkan
hal-hal macam itu lewat karya mereka, nah kalo kita dibawa enjoy. Karena alam
memberi kita banyak ruang untuk berpikir luas. Gak kesitu lagi kesitu lagi.
Hehe. Jadi kita terlihat lebih santai menanggapi apa itu cinta..” Jelas Abi, ditandai
anggukan kecil dariku tanda setuju. Ya, seorang backpacker memang selalu kelihatan santai menanggapi apa itu cinta.
Seperti dia yang disana...
Aaahhh... Itulah
sebabnya aku ingin sekali menjadi
backpacker. Aku ingin waktuku lebih banyak lagi dengan alam, tentang hidup
yang dibumbui cinta. Bukan cinta yang dibumbui manis getirnya masalah hidup.
Aku ingin alam selalu mengingatkanku atas kuasaNya.
Tak terasa fajar
sudah terbit cukup tinggi, aku melihat jam di tanganku, sudah hampir pukul
06.00 WIB. Sudah waktunya aku pulang. Aku sudah mendapatkan sedikit pelajaran
disini. Lewat orang-orang yang berlalu lalang, dan lewat keempat backpacker muda ini. Aku bangkit dari
dudukku, dan berpamitan pulang pada Abi, Aska, Dodi dan juga Hilman. Mereka
juga berdiri dan menerima jabatan tanganku. Merasakan genggaman hangat jabatan
tangan mereka sedikit memberi kekuatan padaku. Entah kekuatan apa, yang jelas
aku merasa motivasiku berkobar-kobar.
“Semoga perjalanan
kalian ke Batam selamat dan menyenangkan. Sampai ketemu lagi, walau gue gak tau
kapan. Hehe”
“Oke, mungkin kita
ketemu lagi saat lo udah mulai melangkah menjadi backpacker kayak kita. Hehe.” Sambut Hilman. Aku tersenyum dan
mulai melangkah meninggalkan mereka. Namun panggilan dari Abi membuatku menoleh
lagi dan menghentikan langkahku. Dia sedikit berlari kearahku, memberikan
rangkulan perpisahan. Aku terkejut, tapi menyambut rangkulan itu. Rangkulan
hangat dari teman bicaraku. Teman bicara satu malam. Dan saat Abi melepas
rangkulannya, ia merogoh saku celana pendek yang ia kenakan. Mengeluarkan sedikit
bunga Edelwish ungu yang begitu cerah, memberikannya padaku.
“Selalu ada yang
abadi dikehidupan. Selama masih hidup, selama itu pula kata ‘abadi’ dapat
disematkan. Kayak Edelwish ini.” Kata Abi seraya tersenyum dan mengusap lembut
bahuku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Aku kehabisan kata untuk mengungkapkan
betapa hebatnya pertemuan ini. Pembelajaran selalu ada dimana kita berpijak,
kawan!
Aku kembali
membalikan badan dan terus berjalan pulang. Terimakasih kawan-kawan satu malam.
Teruntuk Abi, Aska,
Dodi dan Hilman
Gue rada nyesel nih gak ngasih nomor hape gue ke Abi waktu dia minta, tapi emang gue sengaja sih. Pertemuan-pertemuan pertama yang gak disengaja ini memang indah karena tidak adanya rencana untuk bertemu. Dan mungkin nanti saat pertemuan selanjutnya menjadi lebih menarik lagi ketika kita tidak sengaja bertemu. hehehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar