Selasa, 07 Februari 2012

Dini Hari di Stasiun Gambir (Part2-ending)


Pagi ini aku tiba dirumah sekitar pukul 08.00 WIB. Sesegera mungkin aku membuat sarapan dan memakannya. Perutku lapar sekali sejak tadi malam. Tak ada yang aku makan sejak berada di Stasiun, hanya minum, minum dan minum. Entah itu kopi hitam panas, Ekstra Joss dingin, air mineral dan sekaleng Greens Sands. 
Nasi putih dan telur mata sapi yang kusantap pagi ini begitu nikmat rasanya setelah rasa lelah menghampiri tubuhku yang mulai terlihat lusuh. Setelah makan, aku menyempatkan diri untuk menonton televisi sembari rebahan untuk melemaskan otot yang menegang. Mungkin sekitar 60 menit aku bersantai ria didepan televisi. Aku melihat arah jam dinding, sudah hampir pukul 10.00 WIB. Badan terasa begitu lengket dan berdebu, tapi aku malas untuk membersihkan diri. Aku masih punya hutang untuk melanjutkan ceritaku tentang dini hari di Gambir tadi. Denagn berat aku pergi ke kamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan membasuh wajah agar terasa lebih segar hingga sedikit kantuk yang kurasakan juga hilang.
Setelah merasa sedikit segar aku kembali kedalam kamarku yang tak pernah tertata rapi. Melanjutkan sisa kisah yang sempat berhenti kutulis karena terlalu asik berbincang dengan keempat teman bicaraku dini hari tadi.
Keempat backpacker tadi adalah mahasiswa-mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta angkatan 2008 yang sedang mengisi masa liburan mereka dengan memenuhi hobinya berpetualang kebanyak tempat. Mereka baru saja tiba di Gambir setelah sebelumnya berangkat dari salah satu stasiun di kota kembang. Ternyata mereka baru saja sedikit menjelajahi dataran Sunda.  Dari Bandung, Garut, Cirebon, Tasikmalaya, dan kembali lagi ke Bandung. Dan datangnya mereka ke Jakarta ini, tepatnya di Stasiun Gambir. Hanyalah untuk melepas lelah, karena siang ini mereka berencana untuk melanjutkan petualangan mereka ke Batam dengan menggunakan transportasi udara dari bandara Soekarno-Hatta. 
Beruntung sekali aku bertemu dengan mereka di stasiun ini, terlebih mereka baru saja pulang dari petualangannya di tanah Sunda, tanah yang pada dasarnya adalah kota asal keluargaku. Dan otomatis aku sedikit banyak tahu mengenai seluk-beluk tempat-tempat itu. Aska, yang paling banyak bicara dan paling jenaka memaparkan segala pengalaman mereka saat berada di Garut.
“Wah, gila Ta. Gue baru ngeliat ada domba gedeee banget di Garut, bagus banget. Pas gue tanya harganya sama yang punya, gue langsung bengong, 35 Juta, Ta.! Gila, gue bisa keliling Sumatra kali ya tuh.. niatnya pengen gue bawa kabur tuh domba. Tapi gue baru inget, gue juga udah punya domba yang lebih gede. Hahaha.” Cerita Aska sembari melirik Dodi. Dodi hanya mengumpat dan ikut tertawa. Begitupun Aku, Abi dan Hilman. Tawa kami semakin memecah malam manakala sesekali secara bergiliran mereka mengeluarkan kata-kata yang menggelikan dan konyol. Dan ketika tawa sudah mulai sayup-sayup mereka melemparkan beberapa pertanyaan singkat padaku. Tinggal dimana? Kuliah apa kerja? Ngambil jurusan apa? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang melengkapi pertanyaan pokok tersebut. Aku menjawabnya, dan lalu kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada keempatnya.
Abi adalah hasil kawin silang dari darah Jogjakarta dan Banten. Aska asli orang Jogjakarta. Hilman keturunan Medan, nama lengkapnya Hilman Sihombing. Dan Dodi ternyata asli keturunan betawi, domisilinya di kota Depok. Namun karena kepentingan pendidikan, jadilah ia menetap secara kontrak disebuah kamar kost di kota Jogjakarta. Begitu pula dengan Abi dan Hilman, keduanya juga menyewa kost-kostan disekitar kampus UGM Jogja. Sedangkan Aska, masih tinggal bersama kedua orang tuanya, namun tidak jarang Aska bermalam di salah satu kostan kawan-kawannya ini.
“Eh iya, lo gak dicariin sama ortu lo, Ta? Udah hampir pagi nih.” Kata Abi disela-sela guyonan kami.
“Dicariin sih, ya tapi entar aja deh, lagi asik.hehe.”
“Ya, bagus deh.. Jadi lebih banyak kan waktu ngobrolnya.” Sambung Aska sedikit menggoda. Aku hanya tersenyum kecil.
“Eh iya, Ta. Tadi lo bilang lo orang Tasik kan? Dimananya tuh?” Tanya Dodi tiba-tiba.
“Gue di Singaparna. Sampingnya Singapur. Hehehe. Kenapa? kemaren kesitu?”
“Enggak, kita buta banget Tasik pas kesana, cuma ke Pelabuhan Ratu doang.” Saut Dodi.
“Iya, Ta.. ada apa aja sih emang di Tasik?? Kemaren kan kita ke Bandung, jelas banyak objek-objek yang kita datengin,  kayak Tangguban Perahu, Kawah Putih dan lain-lain. Terus pas ke Garut emang jelas kita pengen tau hal-hal mengenai Domba Garut yang udah membudaya banget itu. Nah pas ke cirebon kita pergi ke tambak udang. Giliran udah nyampe Tasik kita bengong, gak ada tujuan. Yang gue tau cuma Pelabuhan Ratu. Itu juga dari TV. Hehehe” Sambung Aska.
“Waah, kalo di Tasik emang menurut gue sih gitu-gitu aja.. hehehe. Paling ada kawah Galunggung sama Cipanas.” Mereka mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku. “Oh iya, tapi ada yang asik juga tuh, pedalaman suku gitu. Namanya Kampung Naga. Next lo semua harus kesitu.”
“Wah, emang penduduk umum dari luar boleh masuk?” Tanya Hilman. Disertai beberapa pertanyaan lainnya dari yang lain mengenai Kampung Naga. Aku menjawab sepengetahuanku, dan sepertinya mereka cukup interest dengan penjabaranku mengenai Suku ini.
“Lain kali ikut kita packer-an dong, Ta. Kayaknya nambah temen enak nih.” Ajak Abi.
“Haha.. pengennya sih gitu. Gue udah lama punya keinginan untuk ikut jadi backpacker. Tapi belum dapet ijin dari bokap gue. Biasa cewek, selalu diperlakukan lebih protektif dibanding cowok. Hehe.” Mereka mengangguk angguk mengerti. 
Obrolan kami pun semakin pagi semakin panjang saja. Tidak hanya soal hobi dan tempat-tempat yang asik di Indonesia yang bakal menjadi tempat tujuan mereka nanti, tapi juga soal pribadi. Seperti keluarga, dan tidak ketinggalan soal cinta. Karena suasana perbincangan semakin hangat, tanpa sadar aku banyak bercerita tentang masalah asmaraku. Mulai dari yang senang, sampai yang sedikit melow. Dan ketika menyadari aku telah banyak berkoar masalah cinta pada mereka, aku sedikit malu dan salah tingkah.
“Haha.. kenapa, Ta?” kata Abi yang menyadari kesalah tingkahanku.
“Gak papa.. baru nyadar aja gue kalo ngomong banyak gini. Jatohnya gue curhat colongan. Hahaha. Tengsin kali. Ini bukan topik yang harusnya dibicarakan sama orang-orang backpacker kayak kalian.” Kataku cengengesan.
“Heeei..Heei. Cinta itu universal, Ta. Luas. Emang cuma musisi dan sastrawan doang yang bisa merasakan cinta? Kita-kita orang juga kan peka masalah kayak gitu. Tapi bedanya kita mungkin lebih santai menanggapinya. Karena kisah-kisah macam itu bukan menjadi dasar pemikiran kita saat kita menjalani kegiatan backpacker ini. Kan kalo musisi dan sastrawan jatohnya menuangkan hal-hal macam itu lewat karya mereka, nah kalo kita dibawa enjoy. Karena alam memberi kita banyak ruang untuk berpikir luas. Gak kesitu lagi kesitu lagi. Hehe. Jadi kita terlihat lebih santai menanggapi apa itu cinta..” Jelas Abi, ditandai anggukan kecil dariku tanda setuju. Ya, seorang backpacker memang selalu kelihatan santai menanggapi apa itu cinta. Seperti dia yang disana...
Aaahhh... Itulah sebabnya aku ingin sekali menjadi backpacker. Aku ingin waktuku lebih banyak lagi dengan alam, tentang hidup yang dibumbui cinta. Bukan cinta yang dibumbui manis getirnya masalah hidup. Aku ingin alam selalu mengingatkanku atas kuasaNya.

Tak terasa fajar sudah terbit cukup tinggi, aku melihat jam di tanganku, sudah hampir pukul 06.00 WIB. Sudah waktunya aku pulang. Aku sudah mendapatkan sedikit pelajaran disini. Lewat orang-orang yang berlalu lalang, dan lewat keempat backpacker muda ini. Aku bangkit dari dudukku, dan berpamitan pulang pada Abi, Aska, Dodi dan juga Hilman. Mereka juga berdiri dan menerima jabatan tanganku. Merasakan genggaman hangat jabatan tangan mereka sedikit memberi kekuatan padaku. Entah kekuatan apa, yang jelas aku merasa motivasiku berkobar-kobar.
“Semoga perjalanan kalian ke Batam selamat dan menyenangkan. Sampai ketemu lagi, walau gue gak tau kapan. Hehe”
“Oke, mungkin kita ketemu lagi saat lo udah mulai melangkah menjadi backpacker kayak kita. Hehe.” Sambut Hilman. Aku tersenyum dan mulai melangkah meninggalkan mereka. Namun panggilan dari Abi membuatku menoleh lagi dan menghentikan langkahku. Dia sedikit berlari kearahku, memberikan rangkulan perpisahan. Aku terkejut, tapi menyambut rangkulan itu. Rangkulan hangat dari teman bicaraku. Teman bicara satu malam. Dan saat Abi melepas rangkulannya, ia merogoh saku celana pendek yang ia kenakan. Mengeluarkan sedikit bunga Edelwish ungu yang begitu cerah, memberikannya padaku.
“Selalu ada yang abadi dikehidupan. Selama masih hidup, selama itu pula kata ‘abadi’ dapat disematkan. Kayak Edelwish ini.” Kata Abi seraya tersenyum dan mengusap lembut bahuku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Aku kehabisan kata untuk mengungkapkan betapa hebatnya pertemuan ini. Pembelajaran selalu ada dimana kita berpijak, kawan!
Aku kembali membalikan badan dan terus berjalan pulang. Terimakasih kawan-kawan satu malam.

Teruntuk Abi, Aska, Dodi dan Hilman
Jakarta, 7 Februari 201

Gue rada nyesel nih gak ngasih nomor hape gue ke Abi waktu dia minta, tapi emang gue sengaja sih. Pertemuan-pertemuan pertama yang gak disengaja ini memang indah karena tidak adanya rencana untuk bertemu. Dan mungkin nanti saat pertemuan selanjutnya menjadi lebih menarik lagi ketika kita tidak sengaja bertemu. hehehe. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar