Senin, 27 Februari 2012

Bomber Kaya Raya


Alunan instument gitar dari Depapepe menemani aktifitasku sore ini. Indah dan begitu menggugah. Bersama Malik dan Adi aku mengerjakan proses editing pembuatan buku tahunan untuk SMA Negeri 59. Sebenarnya tim kerja kami terdiri dari lima orang. Malik, Adi, Adly, Dina dan Aku sendiri. Tapi karena alasan tertentu Adly dan Dina tidak bisa hadir dalam proses pengerjaan editing ini. Adly sedang terikat pekerjaan Freeland entah dimana –padahal ini juga harusnya adalah pekerjaan yang harus ia pertanggungjawabkan-, sedangkan Dina mengalami sedikit masalah personal yang memaksanya untuk tidak menghadiri kewajiban ini. Ya tak apalah, toh kami saling mengerti sebagai anggota tim.
Lama kelamaan matahari mulai turun dari singgahsananya, sudah pukul 17.30. Proses editing pun masih dalam pengerjaan yang jauh dari kata ‘selesai’. Aku sedikit merasakan kantuk. Akhirnya aku memilih untuk beranjak kesamping meja editing. Mengambil posisi duduk di atas tempat tidur. Tempat kami mengerjakan proses ini memang disebuah kamar milik Malik. Bukan dikantor. Karena tim kami sendiri baru terbentuk beberapa bulan belakangan, jadi masih benar-benar baru merintis. 
Aku memandang sekelilingku, banyak kertas gambar yang berserakan disana-sini. Gambar-gambar sketsa milikku. Aku sengaja membawanya untuk ditunjukan kepada Malik. Aku tertarik untuk masuk menjadi anggota Gatherink, sebuah perkumpulan pencinta graffiti. Perkumpulan para bomber. Dan yang aku tahu dari  Malik bahwa Gatherink belum memiliki banyak anggota, jadi aku tertarik untuk bergabung sebagai anggota baru. Ya hitung-hitung menyalurkan hobi menggambar yang selama ini sedikit terbengkalai akibat menumpuknya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Entah kenapa aku sudah tak sabar untuk segera menjadi anggota Gatherink. Mungkin karena aku sudah terlalu jenuh dengan aktifitasku belakangan ini yang tidak pernah lepas dari tujuan mencari sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Aku jenuh. Lelah. Aku butuh space untuk untuk meluangkan sepotong hobiku disela-sela kepadatan jadwal harian yang tak kunjung senggang.
Haha, macam wanita karir yang sudah sukses aku ini. Padahal nyatanya masih sangat jauh dari kata itu. Tapi yang jelas aku berusaha dengan sangat agar kata itu tersematkan pada sepenggal perjalanan hidup yang aku tempuh ini. Ya setidaknya aku sukses menjadi orang yang paling bahagia didunia ini. Toh sukses itu universal, bukan hanya sebatas mendapatkan materi yang berlimpah. Memiliki harta yang berlimpah itu bukan suatu keinginan dalam hidupku, tapi KEHARUSAN. Aku tak mau miskin. Siapa yang mau hidup miskin didunia ini?? Tidak ada! Jelas tidak ada! Miskin itu buta, kawan. Menyiksa. Tak bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak bisa berbagi. Benar-benar menakutkan!
Lalu bagaimana ini? Apakah menjadi seorang bomber akan berakibat kekayaan untukku? Malah yang ada buang-buang waktu, juga buang-buang uang! Ah, tak apalah, sekali lagi yang aku butuhkan saat ini adalah me-refresh otakku yang mulai kepanasan. Ya supaya nantinya aku juga dapat berpikir lebih cerah, agar menemukan jalan yang akan aku tuju agar KEHARUSAN itu dapat terpenuhi.
Bomber kaya raya. Haha

Kamis, 09 Februari 2012

SHIKAMARU NARA







Profil :

Nama : Shikamaru Nara
Lahir : 22 September
Desa : Desa Konohagakure (Desa Daun Tersembunyi)
Umur : 26-27 di Part I, 29 di Part II
Golongan Darah : AB
Warna Mata : Hitam
Warna Rambut : Hitam
Tinggi : 170,4 cm
Berat : 45,3 kg
Nama Ayah : Shikaku Nara
Nama Ibu : Yoshino Nara
Nama Bijuu : Tidak Mempunyai
Tingkatan : Genin (dulu), Chuunin (sekarang)
Jutsu :


  • Formation Ino-Shika-Chō
  • Portable Water Field
  • Shadow Endgame Technique
  • Shadow Imitation Shuriken Technique
  • Shadow Imitation Technique
  • Shadow Neck Bind Technique
  • Shadow Sewing Technique

Guru : Asuma Sarutobi

Rekan : Hatake Kakashi, Haruno Sakura, Uchiha Sasuke, Naruto Uzumaki, Asuma Sarutobi, Choji Akimichi, Ino Yamanaka

Shikamaru adalah seorang
shinobi yang malas dan tidak tertarik dengan keterkenalan. Dibalik itu semua, Shikamaru adalah seorang shinobi yang amat cerdas dan berjiwa pemimpin. Strategi yang Ia ciptakan dalam menghadapi musuh - musuhnya amat mencengangkan baik pihak lawan maupun lawan. Selalu berusaha untuk bersikap gentleman dihadapan para wanita. Jurus andalannya disebut dengan jurus pengikat bayangan(kagemane no jutsu). Sangat menghormati sang guru, Asuma, mereka sering bermain shogi bersama - sama diwaktu luang. Ia amat terpukul saat kematian sang guru tercinta. Sahabat karib dari Chouji.


Haha.. ini karakter khayalan favorit gue, guys.. Kekanak-kanakan banget yah?? haha. Gak apa-apalah. Gue udah terlanjur tertarik dan suka banget sama karakter Shikamaru Nara ini. Dan karakter seperti ini memang hanya ada di khayalan. Cuek tapi cerdas. Malas tetapi jenius. Ahh,, gila.KEREN abis. Gue suka banget sama cowok pinter dari dulu, tapi bukan yang kutu buku. Yang cuek kayak Shikamaru ini yang gue suka. Seksi banget, Men ! haha.

Irasional (Cerpen gue yang bakal jadi naskah film pendek)


Aku terduduk didepan layar komputerku, mencoba menuangkan pikiran lewat cerita singkat, sajak, atau sebuah artikel yang didasari pengalaman sendiri. Sepuluh menit, tiga puluh menit, bahkan hampir dua jam aku memutar otak untuk mencari garis besar atas suatu pemikiran. Tetapi hal itu belum juga kudapat. Kemana ujung pemikiranku? Aku tidak tau. 
Terlalu banyak cabang yang melingkar diotakku, sangat banyak, mungkin jika otakku berupa helaian benang maka benang-banang itu sudahlah kusut. Tak terlihat lagi mana kedua ujungnya. Aku ingin berdiri pada ideologi awalku mengenai konsep kenegaraan yang berkaitan dengan doktrin, berkoar-koar tentang sistem pendidikan, atau bahkan bicara soal dogma dan kehidupan. Namun problema yang tidak irasional mengacaukan pikiranku. Ini terkait masalah perasaan, masalah cinta yang benar-benar irasional. Aku benci terjebak oleh keadaan yang sedemikian rupa. Keberadaan rasa yang tidak dapat aku paparkan secara ilmiah ini membuatku mati kutu. Aku merasa nanar akan hal ini.
Aku menghela nafas panjang dan kembali menyulutkan api dari korek gas di ujung rokokku. Aku mencoba menenangkan diri. Untuk berpikir lurus, aku harus berada dalam keadaan yang stabil. Instrument gitar klasik kupilih untuk memperbaiki kusutnya otakku, karena berdasarkan penelitian musik klasik dapat membantu cara kerja otak agar lebih baik. Tapi sepertinya itu tidak berlaku untukku, aku gagal mengontrol daya pikirku. Yang aku tau dan yang aku ingin adalah bertemu dengannya. Ya Tuhan, aku benar-benar sudah terjebak pada dalamnya rasa, aku kecanduan cinta, Ya Tuhan.
Aku mulai merebahkan diri diatas tempat tidurku, berusaha untuk masuk kealam mimpi agar semuanya lebih mudah untukku lupakan. Tapi bukannya rasa kantuk yang menyerang, malah mataku asik berputar mengelilingi setiap sudut kamarku ini. Kamar kost tempatku melepas lelah dan menjalani tugas hidup ini menjadi saksi bisu dimana aku dan dia saling mengucap kata cinta, bercumbu dalam hangatnya nuansa asmara. Aku segera mengangkat tubuhku untuk duduk dan mengusap-ngusap wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku benar-benar rindu padanya. Dan mungkin, aku sedang merasa cemburu?
Kuambil poselku, kuketik sedikit kalimat, aku ingin mengirimkan pesan singkat untuknya. Namun aku segera tersadar akan pesan singkat yang siang tadi telah ia kirimkan untukku, isinya memberi kabar bahwa kekasihnya sedang mengunjunginya ke kostan tempat ia tinggal. Untung aku segera ingat, aku tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Biarlah aku menunggu dia yang menghubungiku, aku harus sabar. Dan yang paling utama adalah aku harus sadar posisiku, aku bukan satu-satunya bagi dia. Bukan juga yang pertama. Keberadaanku dihidupnya mungkin baru sekitar dua bulan, sedangkan hubungan yang ia jalin dengan kekasihnya sudah lebih dari empat tahun. Aku harus sadar diri.
Waktu sudah menunjukan pukul 21.13 WIB, pesan singkat darinya tak kunjung datang. Kubuka sebotol Vodca yang kubeli setengah jam yang lalu, menuangkannya kedalam gelas khusus dan mencampurkannya dengan sedikit Sprite serta sedikit perasan jeruk nipis. Racikan ini adalah racikan favoritku, rasanya menjadi lebih segar dan bau alkoholnya jadi tidak terlalu menyengat. Aku meneguknya sekaligus hingga gelas itu kosong, merasakan cairan itu masuk keperutku adalah merasakan pahitnya hidup. Aku seperti disadarkan lewat tamparan keras yang tidak sakit secara fisik, tapi secara batin. Tapi entah mengapa kesakitan itu begitu nikmat dan pemikiranku menjadi lebih terbuka, lebih bebas. 
Aku butuh beberapa teguk racikan itu lagi agar otakku bekerja lebih cepat. Aku tau persis takaranku agar tak sampai mabuk, karena kebiasaan ini sudah menjadi teman sehari-hariku. Rasanya hidupku kembali, kepercayaan diriku kembali dan sukmaku mulai bernyanyi. Kusulut sebatang rokok lagi untuk menemani kesendirianku malam ini. Ku putar lagu-lagu dari Heima Sigur Ros yang makin membuatku melayang bebas dialam berpikir. Sungguh nikmat tak terkira. Nikmat sekali.
***
Nada dering pesan singkat dari ponselku memotong daya pikirku, aku mengambilnya dan membuka pesan itu. Dari Juna. Ya, laki-laki yang belakangan ini membuat otakku sedikit runyam. Nama lengkapnya Arjuna Bramandita, satu angkatan denganku di universitas yang sama. Ia mengambil jurusan sastra, sedangkan aku jurnalistik. Kami berdua adalah anggota UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Teater, akupun mengenalnya dari perkumpulan itu. Namun empat bulan yang lalu, ketika kami sama-sama mengerjakan proyek event tahunan pagelaran seni teater mahasiswa Indonesia, intensitas pertemuan kami semakin tinggi dengan dasar kerja tim. Hampir setiap hari kami berdiskusi mengenai apapun yang berkaitan dengan pagelaran seni teater nanti. Menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, serta latihan-latihan yang harus dilakukan. 
Kami selalu bertemu pada saat-saat itu, sampai akhirnya entah mengapa kami jadi cukup dekat secara personal diluar kegiatan itu. Tanpa basa-basi ia mengajakku untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar berteman. Dan tanpa banyak berkilah akupun merespon ajakannya itu, walaupun saat itu aku tahu kalau Juna sudah menjalin hubungan khusus dengan Rina, teman sejurusanku di universitas. Entah kenapa aku demikian mudahnya meng-iya-kan, padahal aku jarang sekali cepat menerima keberadaan seorang lawan jenis yang mencoba untuk menjalani hubungan denganku. Ini begitu tabu bagiku, bahkan sampai detik ini aku belum tau alasan apa yang mendasari pengambilan keputusanku itu.
Kubuka isi pesan singkat dari Juna.
-SAYANG-
Aku tersenyum dan membalas pesan singkat itu.
-IYA SAYANG, UDAH PULANG RINANYA?-
-UDAH KOK, BARU AJA AKU ANTERIN DIA PULANG, NIH AKU BARU SAMPE RUMAH. KAMU LAGI NGAPAIN? MAAF YA LAMA..-
-OH, AKU LAGI DENGERIN LAGU DOANG, GAK PAPA KOK SAYANG. KAMU LAGI NGAPAIN? TADI NGAPAIN AJA SAMA RINA?-
-AKU LAGI MAKAN, KAMU UDAH MAKAN? YAH, UDAHLAH GAK USAH DIBAHAS AKU NGAPAIN-NGAPAIN AJA SAMA DOI. HEHE.-
Ya, aku paham maksud Juna, ia mungkin tak ingin bercerita agar aku tidak terbakar rasa cemburu. Walau sebenarnya aku memang sudah terbakar cemburu sejak tadi siang. Dan kecemburuanku hari ini bukanlah kecemburuanku yang pertama.
Obrolan lewat pesan singkat ini terus berlanjut. Walau hanya berisi candaan, cukup bagiku untuk  mengobati segala kegelisahan dan rindu, apalagi saat ia mengungkapkan kata cinta yang selalu membuat hatiku melambung tinggi. Dan esok hari Juna berencana untuk mengunjungiku, dia akan datang ke kostanku. “Besok giliran kamu ya, Sayang..hehe” Candanya, tapi sebenarnya candaan itu membuatku sedikit sakit. Siapa yang mau di gilir seperti ini? Huh. Aku hanya mengusap dada dan menghela nafas. Aku harus sabar, ini memang sudah resiko yang harus kuambil. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 00.35 WIB, sudah dini hari. Kamipun menyudahi obrolan ini dengan ucapan selamat tidur, walau sebenarnya aku belum ingin tidur. Entah kenapa ada yang mengganjal dihatiku. Ya, selalu ada yang mengganjal. Mungkin hubungan ini membuatku sering gelisah, hubungan yang harusnya tidak aku jalani. Bagaimana tidak? Aku bercinta dengan kekasih temanku. Harusnya aku tidak seperti ini, tapi lagi-lagi aku dibutakan oleh kekuatan rasa.

Mataku belum merasakan kantuk, sudah pukul 01.30 dini hari. Aku benar-benar gelisah, aku lelah seperti ini, rasanya ingin sekali aku sudahi, dalam posisi seperti ini aku adalah yang paling sering merasa sakit. Aku tau, mungkin nanti saat Rina mengetahui hubungan gelapku dengan Juna, pastilah ia akan begitu kecewa dan sakit hati. Tapi untuk saat ini, akulah yang terus menerus tersakiti oleh keadaan. Aku ingin menyudahinya, tapi bukan menyudahi hubunganku dengan Juna. Semakin kesini aku semakin berharap hubungan Juna dan Rina cepat kandas, agar aku menjadi satu-satunya bagi Juna. Tapi disisi lain aku juga tidak ingin membuat Rina begitu terluka dengan kehadiranku. Ahh, entahlah.. aku dilema.
Kubuka lemari pakaianku, aku mengambil bungkusan kecil yang ada dibawah tumpukan pakaianku itu. Sebungkus kecil daun ganja yang sudah kubeli 2 hari yang lalu, kini tinggal sisa setengahnya, mungkin cukup untuk tiga linting lagi. Aku mengeluarkan kertas lintingan yang ada didompetku, merobeknya satu helai, dan mulai menuangkan sedikit ganja diatasnya. Ini ganja kualitas bagus, tidak terlalu kering, warnanyapun masih coklat kehijau-hijauan, tidak coklat pekat. Jadi aku mencampurnya dengan sedikit tembakau untuk menghemat pemakaian. 
Kulinting ganja ini menjadi batangan yang siap dibakar, dan ketika aku menyulutnya dengan api serta menghisapnya, seketika itu juga aku mencium aroma yang luar biasa nikmat. Setiap hisapan dan hembusan asapnya kuhirup lagi. Dalam-dalam kuhirup, sebisa mungkin agar asap-asap itu tak terbuang percuma. Kuhabiskan selinting ganja itu, kamarku penuh dengan asap ganja yang terbakar, aku merasa terbang di awan, nikmat sekali, sampai akhirnya aku jatuh kealam mimpi.

***

            Aku terbangun dari tidurku, ternyata sudah pukul sepuluh pagi. Aku terduduk diam diatas kasurku, mencoba terus mengumpulakan jiwaku yang belum penuh terisi. Ketika sudah terasa cukup segar, aku bangkit dari tempat tidurku. Meraih handuk yang tergantung di tembok kamar dan segera pergi mandi. Setelah selesai mandi aku menelpon warung makan didekat kostanku untuk memesan sarapan pagi ini. Sembari menunggu pesanan datang, aku merapikan kamar kost-ku. Sisa-sisa nafas semalam aku bersihkan, aku membuang sisa-sisa itu, mulai dari abu rokok yang memenuhi asbak, gelas-gelas, kaleng Sprite dan ampas potongan jeruk nipis. Botol Vodca yang masih berisi setengah aku simpan lagi ditempatnya, begitu pula bungkusan daun ganja yang masih tersisa itu kusimpan lagi dilemari pakaian.
            Setelah semua terlihat cukup rapi dan bersih aku mulai menyantap sarapanku yang sebelumnya sudah diantar oleh si pengantar makanan. Ketika aku sedang asik melahap, Juna tiba di halaman depan kamar kostanku dengan Thundernya, aku tersenyum menyambut.
            “Hei, makan siang apa sarapan?” Tanya Juna begitu masuk kekamar kostanku. Kostan yang aku sewa ini bisa dibilang cukup bebas, karena siapapun boleh bertamu tanpa jam-jam tertentu. Bahkan siapapun bisa menginap kapan saja, sekalipun itu lawan jenisku.
“Nyarap.. hehe. Kok gak sms dulu? Tau-tau dateng gitu.. Untung aku udah bangun.”
“Biar surprise.. hahaha. Ya kalo kamu belum bangun tinggal aku bangunin, gitu aja susah.”
“Haha.. biasa aja ah, gak surprise juga. Udah makan belom? Makan nih..” kataku sembari menawarkan makan.
“Gak ah, aku udah makan, yaudah kamu abisin aja dulu, Ay.” Jawab Juna sembari mengambil gitar dari atas tempat tidurku dan mulai memainkannya.
Setelah aku selesai menghabiskan makananku, aku mendekati Juna. Bersandar di bahunya. Juna pun segera menaruh gitarnya agar dapat memelukku.
“Aku kangen kamu, Jun. Dua hari gak ketemu aja udah kangen. Hehe.” Ucapku sambil terus bermanjaan.
“Yaiyalah, itulah hebatnya aku. Hehe. Aku juga kangen kok” Candanya diikuti sebuah kecupan hangat dibibirku. Aku menyambutnya dengan hangat pula, memeluknya. Dan sesekali kami melepaskan kecupan kami untuk saling berpandangan, lalu bercumbu lagi. Dan semakin lama kecupan-kecupan kami berubah menjadi ciuman-ciuman bergairah. Semakin hangat bergelora. Dan kami mulai tenggelam menikmati hawa napsu masing-masing. Namun semuanya ku hentikan secara tiba-tiba, manakala aku menyadari bahwa aku hanyalah simpanan bagi Juna. Aku merasa ini tidak adil untukku, posisiku masih bayang-bayang untuk Juna, walau Juna begitu sering meyakinkanku bahwa ia benar-benar mencintaiku, itu belum cukup untukku. Aku tetap ingin menjadi satu-satunya. Dan Juna belum menunjukkan itikat untuk menyudahi hubungannya dengan Rina.
“Kenapa sih, Ay?” Tanya Juna padaku, dia ingin tau kenapa aku tiba-tiba meghentikan cumbuannya.
“Gak apa-apa, Jun. Aku Cuma gak mau aja, kamu masih sama dia.”
“Yaampun Shephia... Aya.. gak gitu juga.. aku sayang sama kamu. Sumpah. Kamu sendiri yang bilang sama aku kalo kamu bisa liat rasa sayang aku ke kamu tuh beneran. Dan emang aku tuh gak pernah bohong sama kamu, Ay..” Jelas Juna padaku.
“Emang, emang aku bisa liat kalo kamu itu beneran sayang sama aku, Jun. Tapi makin kesini aku makin gak yakin kamu itu jujur apa enggak. Hampir tiga bulan aku diiming-imingi ucapan kamu kalo kamu bakal ninggalin Rina. Tapi mana? Sampe sekarang aku gak liat itu.” Kataku sedikit terbata-bata.
“Gak secepat itu, Ay. Kamu ngertilah, aku sama dia udah lebih dari empat tahun. Kamu harus sabar.”
“Kamu selalu bilang kayak gitu dari awal, aku harus sabar, tapi sampe kapan, Jun?? Aku udah mulai cape sama posisiku.” Kilahku sedikit menaikan nada bicara.
“Kamu udah gak kuat, Ay? Kamu mau kita udahan?”
“Iya, aku udah gak tahan, Jun.. Tapi aku juga gak mau udahan gitu aja. Aku udah ngerasa bener-bener sayang ke kamu. Aahh, aku juga gak tau Jun.. aku bingung.”
“Yaudah, kamu harus sedikit lebih sabar lagi, plis..” Ucap Juna dengan tatapan yang begitu dalam. Dan itu sedikit meredam emosiku yang semula begitu bergejolak. Aku kembali menatap Juna dan segera memeluknya. Aku tak bisa banyak berbuat selain meredam emosiku sendiri saat ini.
“Tapi kamu beneran bakal putusin dia kan?” Tanyaku lagi.
“Kita liat aja kedepannya, kita gak pernah tau kan?” Jawab Juna, dan itu membuatku sedikit kecewa, tapi aku tidak bisa mengungkapkan kekecewaanku itu. Semua begitu membuatku patah arang. Aku hanya tertunduk meratapi dan berusaha berikir positif. Dipertemuan sebelumnya memang Juna pernah mengungkapkan bahwa ia masih sedikit ragu padaku, bukan ragu bahwa ia mencintaiku atau tidak, Juna yakin bahwa ia mencintaiku, tapi ia tidak yakin bakal bisa menerima aku apa adanya atau tidak. Dia beralasan bahwa ia tidak begitu suka dengan pergaulanku, karena aku alkoholik, karena aku ganjais, karena aku perokok dan karena aku sedikit berbeda dengan wanita pada umumnya yang lebih bisa menempatkan dirinya sebagai seorang wanita. Sedangkan aku? Aku terkadang lupa bahwa aku wanita, aku sedikit tomboy, terlalu bebas, dan banyak hal negatif  lainnya yang harusnya bukan menjadi karakter dari seorang wanita. Aku mencoba selalu memahami hal itu, walau aku sudah meyakinkannya bahwa aku dapat merubah pribadiku agar menjadi lebih baik. Demi orang yang aku sayang, merubah sedikit kebiasaan buruk bukanlah hal yang sulit. Tapi mungkin berbeda dengan pemikiran Juna. Jadi, aku hanya bisa menerima alasan-alasan yang ia katakan sembari terus meyakinkan diri bahwa apa yang diucapkan Juna bukanlah sekedar kebohongan.
Juna memelukku, mencoba menguatkanku yang terlihat lemah setelah mendengar jawaban darinya. Aku menerima pelukan itu dengan hangat. aku menyingkirkan segala perasaan takutku, yang aku tau saat ini adalah aku mencintainya, dan tetap ingin terus bersamanya. Aku tak  peduli lagi aku jadi yang kedua, ketiga atau keempat sekalipun. Kembali kami berdua berada dalam cumbuan sepasang kekasih. Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya saat kami bersama, tertawa, bercanda ria, bernyanyi bersama, menikmati hangatnya bercumbu dan  lain sebagainya. Aku sungguh menikmati setiap detikku bersama Juna. Walau kadang sesekali ia menerima pesan singkat dan telepon dari Rina yang membuatku terbakar api cemburu. Aku hanya mencoba mengerti dan menyadari posisiku.
Tak terasa malam kian larut, ketika aku bersama Juna entah mengapa waktu kian terasa begiti cepat berlalu. Ia bersiap-siap untuk pulang, malam ini ia tidak bisa menginap karena harus mengerjakan tugas kuliahnya. Lagi pula besok pagi Juna harus berangkat kuliah bersama dengan Rina. Dan sejak aku menjalin hubungan dengan Juna, aku menjadi sering bolos kuliah. Bukannya aku menghindari Rina, tapi aku malas melihat mereka berdua ada dihadapanku. Mendengar mereka sedang berdua saja aku sudah merasa cemburu, bagaimana kalau aku melihat mereka berdua didepanku? Mungkin aku sudah muntah karena cemburu yang begitu meluap.
“Besok kamu kuliah gak?” Tanya Juna yang sudah berada di atas Thundernya.
“Enggak ah, males. Kamu tau lah alesannya” Jawabku sembari menggeleng.
“Haha.. iya.. tapi jangan sering-sering juga kali bolosnya. Udah semester tujuh nih.. lagi siap-siap bikin skripsi malah bolos terus..” Katanya disertai anggikan dariku. “Yaudah. Aku pulang ya, Ay. Dadah .”
Ia melaju dengan motornya, aku memandang dari halaman kostan sampai ia hilang dari pandangnku. Aku kembali kedalam kamar dan kembali lagi dalam kesunyian malam. Waktu sudah menunjukan pukul 23.45 WIB. Aku belum mau tidur, aku ingin melakukan aktifitas malamku seperti biasanya. Duduk didepan layar komputerku sembari menulis beberapa artikel yang spat tertunda, serta aktifitas pendukung lainnya seperti merokok dan minum. Aku melihat arah jam lagi, ternyata sudah pukul satu dini hari. Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan singkat untuk Juna,
-KAMU UDAH SAMPE KOSTAN KAN, JUN?-
Tak ada balasan, mungkin ia sudah tertidur.
Aku kembali pada aktvitasku, namun entah mengapa aku sedikit dilanda kejenuhan. Aku ingin keluar menikmati malam. Segera aku mengenakan sweeter dan celana lepis panjangku. Aku ingin berjalan keluar, jangan pikir aku punya tujuan, aku berjalan tanpa tujuan. Ya, berjalan kaki di tengah malam sendirian, dan tanpa tujuan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mampir kesebuah warung kopi yang aku lewati. Memesan segelas kopi hitam dan menyulut rokok lagi. Berbincang bincang dengan penjaga warung dan pengunjung lainnya hingga pagi hampir tiba. Ah, hidup ini begitu klise, kawan.

***

Seluruh sisi dari kamar kost-ku begitu berantakan, aku tak banyak ingat mengenai apa yang aku lakukan malam tadi. Yang aku ingat hanya aku banyak sekali meneguk Vodca yang siang kemarin aku beli. Dua botol Vodca itu kini hanya sisa seperempat botol, ternyata tanpa aku sadari aku telah menghabiskannya sendiri tadi malam. Ah, aku pasti mabuk. Hingga saat ini pun aku masih merasa kepalaku begitu berat. Kulirik jam dindingku, sudah lewat pukul satu siang. 
Apa yang terjadi padaku semalam? Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak minum alkohol sampai mabuk? Aku alkoholik, bukan pemabuk. Pasti ini semua akibat pikiran-pikiran kacauku dua hari belakangan. Aku merindukan Juna, tapi tak sedikit kabarpun datang darinya, baik itu pesan singkat, telepon atau kehadirannya. Bahkan pesan singkat yang aku kirimkan tidak digubris olehnya. Panggilanku pun di tolak. Kemana Juna dua hari ini? Apa ia sudah melupakanku dan lebih memilih Rina? Lalu kenapa ia tidak bicara saja padaku agar aku tak seresah ini? Ah, terlalu banyak pertanyaan yang muncul diotakku. Aku merindukannya.
Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan segera pergi membasuh muka dan menggosok gigi. Tanpa merapikan kamarku yang sudah sangat berantakan, aku segera mengganti pakaian tidurku dengan t-shirt dan celana panjang, lalu sepatu kets hitam segera kukenakan. Aku ingin berangkat kekampus, sore ini ada perkumpulan rutin di UKM teater, dan yang lebih utama adalah aku ingin bertemu Juna. Aku harap ia hadir dalam forum minggu ini, aku ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.
Setibanya di kampus aku segera menuju ruang UKM teater, dan harapanku ternyata menjadi nyata, Juna hadir dalam forum. Aku mengucap salam pada semua yang hadir, serta berjabatan pada semua, termasuk Juna. Aku tak mau terlihat ada masalah dengannya di depan umum, karena memang itu bukanlah hal yang patut aku tunjukan. Karena publik telah mengenal Juna sebagai kekasih Rina, bukan kekasihku. Dan aku memang menyembunyikan hubungan kami dari semua orang, hanya aku dan Juna yang tau. Ya, cukup aku dan Juna yang tau. Forum kali ini hanya dihadiri beberapa anggota, tidak lebih dari sepuluh orang, karena memang tidak ada hal penting yang harus dibicarakan dalam forum kali ini. Kami hanya saling bercerita mengenai ide-ide apa saja yang akan kami tuangkan jika nanti ada pertunjukan, selebihnya hanya bersenda gurau. Dua jam kemudian forum ditutup. Dan ini menjadi kesempatanku untuk menyelesaikan masalah dengan Juna, aku mengajaknya untuk pergi kekantin, agar aku lebih leluasa bicara padanya. Dan aku juga tidak harus kuatir jika bertemu Rina, karena memang hari ini tidak ada kelas baginya, otomatis dia tidak hadir di kampus.
Kebetulan kantin sudah cukup sepi, mungkin karena hari sudah sore. Aku memesan dua gelas capucino untukku dan Juna. Pembicaraanpun aku mulai.
“Kamu kemana aja sih? Dua hari loh kamu gak ada kabar. Gak kayak biasanya.” Tanyaku.
“Aku cuma ngerasa kalo hubungan kita mestinya memang harus disudahi.” Jawab Juna tanpa memandangku. Dan saat itu petir serasa bergelegar dihatiku.
“Kenapa tiba-tiba bilang gitu, Jun?”
“Aku sadar aku udah nyakitin Rina selama aku sama kamu. Aku terus ngebohongin dia. Lama-lama aku gak tega.”
“Jun, kamu yang awalnya deketin aku, sampe aku udah bener-bener jatuh kepelukan kamu. Terus sekarang kamu dengan gamapangnya bilang kalo kamu udah sadar akan kesalahan kamu sama Rina. Terus mau nyudahin hubungan kita yang udah terlanjur basah ini?? Gimana aku, Jun?? Mana janji-janji kamu yang nyuruh aku terus sabar?? Gila kamu, Jun!” paparku panjang dengan sedikit emosi.
“Aku tau, Ay. Tapi sekarang aku sadar kalo kemarin itu kita sama-sama khilaf. Dan aku gak pernah janjiin kamu apa-apa, Ay. Dari awal aku hanya sekedar nyuruh kamu untuk sabar nunggu aku udahan sama Rina, aku gak bilang kan aku beneran bakal udahan sama Rina demi kamu? Dan sampe detik ini aku belum yakin bisa menerima kamu sebagaimana kamu yang saat ini.” Jelas Juna padaku. Ia benar, memang ia tidak pernah menjanjikan padaku untuk menyudahi hubungannya dengan Rina dan lalu memilih aku. Tapi aku belum bisa terima.
“Terus apa gunanya aku sabar selama hampir tiga bulan ini?? Apa Jun??? Katanya kamu sudah jenuh dengan hubunganmu bersama Rina, makanya kamu hadir dihidup aku. Terus ketika semuanya sudah setengah jalan kamu malah mau berhenti dan berbalik arah jalan lagi gitu, Jun? Ninggalin aku sendiri yang meneruskan jalan ini. Gitu?”
“Aku gak bohong sama kamu, Ay. Aku bener-bener jenuh saat itu sama Rina. Dan rasa jenuh itu yang akhirnya membuat aku khilaf.”
“Khilaf?? Dua bulan lebih kamu bilang khilaf??” Ucapku penuh emosi, hampir-hampir aku menitikkan air mata.
“Maaf, Ay. Aku tau aku salah. Tapi aku bakal lebih salah lagi kalo aku nerusin ini semua. Kamu saja yang baru hitungan bulan sudah merasa begitu sakit begitu aku tinggalkan. Bagaimana Rina nantinya, Ay?”
Aku menelan ludah, aku benar-benar marah. Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya.
“Jadi kamu lebih milih aku yang sakit hati di banding Rina yang sakit hati??”
“Bukan kayak gitu juga, Ay. Kamu harus ngerti. Aku udah lama banget sama dia. Gak segampang itu.” Kata-katanya terhenti, ia hanya melanjutkannya dengan gelangan kepala pertanda bahwa ia juga tidak habis pikir dengan keputusannya. Terlebih aku, aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang baru saja aku dengar.
“Gila kamu, Jun!” Ucapku kehabisan kata menggambarkan betapa kecewanya aku. Akupun segera bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan Juna. Ia pun hanya tertunduk lemas, memandangku pun ia tak sanggup.

***

Hatiku sakit, kenyataan begitu pahit. Kenapa aku bisa sebodoh ini??  Aku tenggelam pada masalah cinta yang harusnya sejak awal bisa aku hindari. Aku bodoh. Sangat bodoh. Hari ini hatiku benar-benar kacau. Dan itu sangat berpengaruh pada sistem kerja otakku. Aku menjadi lebih emosi, emosi yang aku keluarkan hanya berupa butiran-butiran air mata. Aku kalut. Aku terus berpikir dalam emosi, namun semua pikiran-pikiranku tak pernah jernih. Dalam keadaan seperti ini sulit bagiku untuk berpikir positif. Perasaanku pada Juna sudah terlalu dalam. Kini ia meninggalkanku dengan alasan yang belum bisa kuterima, dan aku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku menyulut batang rokokku dengan penuh amarah, menghisapnya begitu dalam. Begitu dalam seperti kesedihanku. Tapi ini tidak cukup, aku ingin minum Vodca-ku. Ah,untung saja masih sisa seperempat botol. Aku langsung menenggaknya tanpa kutuang dulu kedalam gelas. Seperti biasa, satu tegukan cukup untuk menamparku, membangunkanku dari mimpi, menyadarkannku.
Aku sudah bisa mengontrol emosiku, pelan-pelan kegelisahan yang dibalut kesedihan mulai memudar. Kuteguk lagi dan lagi hingga botol benar-benar kosong. Nuraniku mulai bicara pada diriku, “Sadar, Ay.. Lo udah dipermukaan. Lo udah selamat dari tenggelam.”
Segala emosi sudah ku hanyutkan, tapi kini masih tersisa perih. Tak apalah, keperihan dan kesakitan bisa diminimalisir, bisa dicari obatnya. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Aku butuh sebotol Vodca lagi. Aku mengirim pesan singkat pada temanku untuk membawakan sebotol Vodca untukku, aku enggan beranjak dari kamarku. Sembari menunggu pesanan datang, aku melinting lagi sebatang ganja untukku hisap. Sekitar lima belas menit kemudian temanku Abiet datang membawa Vodca. Dia sudah terbiasa dengan pesanan dadakan seperti ini, dan dengan setia ia selalu datang membawa pesanan tepat waktu. Aku menyuruhnya masuk,membayar Vodca itu dengan selembar uang seratus ribu rupiah.
“Itu sama utang gue yang sebotol lagi minggu lalu ya, Bit.”
“Haha.. Oke. Wah, lagi ngebakar nih.. masih ada, Ay?” Tanya Abiet seraya menerima uang dariku. Ah, dia pasti ingin ikut nimbrung menikmati ganjaku. Aku enggan ditemani siapapun malam ini.
“Ada bit, nih sedikit lagi. Bawa pulang aja ya, gue lagi pengen sendiri. Gak apa-apa kan?” Jawabku sembari menyerahkan sisa ganjaku yang masih dalam bungkusan.
“Wah, gak apa-apa dong. Yang penting gue dapet gratis. Hehe. Yaudah gue balik ye.. thanks banget nih buat amunisinya.”
“Sip, thanks juga titipannya.”
Aku menutup pintu kamarku begitu Abiet pamit pulang. Aku segera menikmati Vodca ku. Lagi-lagi tanpa aku racik. Ah, tak apalah. Yang aku butuh saat ini adalah efeknya, bukan rasanya. Tapi beginipun rasanya juga nikmat. Setengah botol sudah habis kuteguk. Kini aku berasa sedikit pusing, tapi pusing yang ini jauh lebih nikmat dibanding pusing sebelum meneguk alkohol 40% ini. Pusing kali ini terasa ringan, tidak berat seperti sebelumnya. Otakku bekerja, aku sekarang sadar bahwa ini memang hal yang patut aku terima, bukankah sejak awal aku siap menerima resiko ini? Haha. Aku tertawa menyadari betapa tololnya aku saat menangis tadi. Benar-benar tolol. Sampai aku terlelap pun  aku terus menyatakan bahwa aku begitu tolol.

***

Hari ini sudah tepat seminggu sejak aku dan Juna tidak lagi berhubungan. Dan aku sudah mulai bisa menerimanya dengan segala kesadaran diri. Memang sakit hatiku belum kunjung sembuh total, tapi aku merasa sudah cukup pulih. Tak ada alasanku untuk terus membenci Juna, lagi pula kami adalah teman satu forum, tak mungkin kami tidak saling bertegur sapa karena terbentur masalah personal. Hari-hari kembali sepeti biasa dimana pada awalnya aku hanya berteman dengan Juna. Kami masih sering berbincang-bincang menegenai forum, sesekali kami masih menyelikan guyonan-guyonan agar suasana tidak terlalu kaku. Dan aku mulai terbiasa melihat kebersamaan Juna dengan Rina didepan mataku, walau tak aku pungkiri aku terkadang merasa sedikit cemburu. Tapi ya sudahlah, ini jalan yang harus aku lalui. Jalan yang sudah terlanjur kubentuk dalam kehidupanku.
Aku duduk didepan komputerku siang ini, hari ini tak ada kelas, jadi aku bisa seharian di kamar kost-ku untuk menulis beberapa artikel atau sajak seperti biasanya. Menuangkan pikiran lewat kata adalah salah satu kegemaranku. Itulah alasannya aku memilih kuliah jurusan Jurnalistik yang sedikit banyak ada keterkaitannya dengan menulis. Dan mengikuti forum UKM teater juga menjadi pilihanku agar cara berpikirku semakin luas.
Saat sedang asik menikmati bebasnya berpikir, aku dikagetkan oleh suara ketukan pintu kamarku. Ketika kubuka pintu itu, aku mendapati sesesok wanita yang sebaya denganku berdiri seoarng diri. Wanita itu adalah Rina. Aku sedikit terkejutdengan kehadirannya, tidak seperti biasa ia mengunjungi kostan tempatku tinggal.
“Hai, Ay.. ganggu gak?” Sapa Rina lembut seperti biasanya. Rina yang selama ini aku kenal adalah pribadi yang ramah, lembut dan bersahaja. Wajahnya sangat manis, cara berdandannya pun begitu sedap dipandang, sederhana dan feminim. Pantaslah kalau Juna sulit untuk meninggalkannya.
“Hai juga, Rin. Nggak kok, gak ganggu. Ada perlu apa Rin? Masuk dulu deh jangan didepan pintu. Gak enak. Hehe.” Jawabku seramah mungkin. Rina pun melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar kostku. Aku mempersilahkannya duduk diatas kasur, mengambilkannya segelas air putih.
“Makasih, Ay. Maaf ya dateng tiba-tiba. Aku emang sengaja dateng kesini untuk ketemu kamu. Aku mau berdiskusi mengenai artikel sosial yang berkaitan dengan doktrin sama kamu. Itu loh, tugas mata kuliahnya Pak Gino. Kamu kan masternya kalau sudah bicara soal doktrin. Siapapun tau itu. Hehe.” Papar Rina menjelaskan maksud tujuannya bertemu denganku. Dan itu membuatku sedikit lega, aku kira kunjungannya ini ingin bicara padaku soal Juna. Ternyata perkiraanku salah, sepertinya Rina tidak pernah mengetahui mengenai hubunganku dengan Juna yang dulu aku sembunyikan.
“Wah, bisa aja kamu, Rin. Aku kan bukan aktifis. Tapi okelah kalo kamu memang ingin berbincang denganku soal ini. Kita mulai dari mana percakan kita?” Sambutku terbuka.
“Hmm.. dari mana ya? Memang apa sih latar belakang kamu menulis artikel-artikel macam itu? Berita sosial politik?”
“Banyak, Rin. Dari berita sampai yang aku lihat sendiri dikenyataan. Kita kan negara demokrasi. Apapun yang berkaitan tentang pemerintahan selalu dibuka gamblang, walau kebohongan-kebohongan tutur kata selalu terselip dari para pejabat negara. Ya, aku hanya meneliti, mengamati dan mencoba merasakan semua itu. Dan hasilnya aku tuang lewat artikel atau sajak kenegaraan sekalipun.”
“Nah, itu dia, Ay. Aku kurang tertarik kalau bicara soal negara. Aku enggan memikirkan segala sesuatu yang berurusan soal politik. Apalagi dinegara kita ini, sudah terlanjur kotor dan tidak peka.” Ucap Rina berargumen, dan aku suka akan argumennya itu. Ia benar, politik di negara kami sudah terlanjur kotor dan tidak peka. Tapi sekali lagi, ini adalah negara demokrasi, aku berhak menunjukan segala amarahku akan sistem yang gagal ini.
“Memang sih, tapi mau tidak mau kamu harus ikut tenggelam merasakan itu semua. Gini aja deh, kamu liat aja yah beberapa artikelku tentang politik, sajak-sajaknya juga ada. Ya emang jauh dari kata bagus sih, tapi mungkin bisa buat referensi. Hehe.” Kataku memberi masukkan sembari melangkah kedepan komputerku untuk membuka folder yang berisi beberapa artikel yang akan aku tunjukan pada Rina. Rina pun terbangun dari duduknya dan menghampiriku, ia berdiri disamping kiriku dengan sedikit menundukan badannya agar pandangannya sejajar dengan layar komputerku.
“Wah, lumayan banyak ya, Ay. Boleh aku baca semua?”
“Ya boleh dong Ay. Kan emang aku yang nyaranin. Yaudah, kamu duduk deh sambil baca-baca. Aku mau mandi dulu, gak apa-apa kan? Udah hampir sore, aku belum mandi dari pagi. Hehe.”
“Haha. Jorok kamu. Yaudah gak apa-apa kok. Mandi aja.”
Aku melangkah menuju kamar mandiku, aku ingin bebersih diri. Rina kubiarkan duduk didepan komputerku sembari membaca beberapa artikelku. Tetapi baru saja aku melepas pakaianku, Rina berteriak dari depan pintu kamar mandiku.
“Ay, artikel kamu panjang-panjang banget. Aku copy ke flesdiskku aja ya. Nanti aku baca dirumah. Boleh kan?” Ucapnya lantang. Aku pun menjawabnya dengan lantang agar ia mendengar jawabankku dari dalam kamar mandi.
“Iya, Rin.. gak apa-apa. Copy aja.”
“Oke, Thanks, Ay..”
Aku melanjutkan diri untuk bebersih. Setiap air yang jatuh ditubuhku terasa begitu segar. Aku ingin sedikit lebih lama lagi menikmati kesegaran ini. Kira-kira lima belas menit kemudian aku telah selesai mandi, pakaian ganti pun sudah aku kenakan. Aku membuka pintu kamar mandiku, dan aku tidak mendapati Rina berada dikursi duduknya semula. Pintu kamarku pun terbuka lebar. Aku melangkah kedepan layar komputerku yang masih menyala.Dan aku mendapati folder yang berisi koleksi foto-foto pribadiku terbuka, dan diantara semua foto itu, cukup banyak foto-foto mesraku dengan Juna. Daya pikirku segera bekerja cepat. Rina pasti telah melihat ini semua. Dan sekarang ia pasti pergi menemui Juna untuk meminta penjelasan akan bukti-bukti ini. Ah, kenapa foto-foto ini belum aku hapus?? Kenapa harus terjadi sedemikian rupa??. Aku harus menjelaskannya pada Rina. Aku tak mau Juna dan Rina bertengkar karena kesalahanku. Aku bergegas pergi ke kostan Juna, pasti mereka tengah bertengkar hebat. Aku mau menjelaskanpada Rina semuanya. Ya, semuanya.
Aku membuka pintu kamar kost Juna tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dan disitu aku mendapati Juna sedang terduduk di depan layar komputernya seorang diri. Ya, seorang diri. Rina tidak berada disana. Wajah Juna sedikit kaget melihatku yang datang tiba-tiba dengan nafas yang tersengal. Aku menghampirinya, mengatur nafasku dan mulai bicara dengan terus berusaha agar tetap tenang.
“Jun.. Rina tadi ke kostan aku. Dan tanpa aku tau dia membuka-buka folder yang isinya beberapa foto-foto mesra kita. Sumpah aku gak tau, aku gak sengaja, Jun.”
“Kamu tenang deh, jangan panik gitu ngomongnya. Jelasin ke aku pelan-pelan.” Juna mencoba menenangkanku yang memang sangat panik. Aku menarik napas dan meneruskan penjelasanku.
“Iya, pas aku keluar dari kamar mandi tiba-tiba Rina udah gak ada dikamarku, Jun. Dan aku ngeliat layar komputerku. File-file foto kita terbuka, Jun. Pasti dia ngeliat. Aku harus jelasin sama dia. Itu hanya masa lalu kita berdua, Jun.” Paparku sedikit lebih tenang.
“Udah kamu jangan mikir yang macem-macem dulu, Ay. Kamu harus tenang, nanti kita jelasin berdua sama Rina. Semua bisa dibicarakan baik-baik.” Kata Juna menenangkan, walau aku sendiri melihat sedikit kegelisahan di raut wajahnya.
“Tapi aku gak enak sama Rina, Jun. Aku merasa bersalah, aku mau minta maaf.”
Juna menghampiriku, memelukku dengan hangat agar aku lebih tenang. Dan caranya itu selalu berhasil membuat diriku lebih terkontrol. Aku melepaskan pelukan itu dan memandangnya penuh rasa bersalah. Juna hanya mengusap lembut bahuku. Kami berdua saling diam dalam pikiran masing-masing, kami saling menyandarkan tubuh kami satu sama lain. Namun tiba-tiba suara tembakan senapan memecah keheningan diantara kami berdua. Suara ledakan senapan itu begitu menggelegar ditelingaku. Aku terkejut bukan main manakala menyadari bahwa Juna telah terjatuh karena peluru dari senapan itu sudah menembus bagian dadanya. Aku melihat ke arah pintu kamar Juna, Rina berdiri didekatnya sembari memegang senapan itu dengan gemetar. Ia terlihat sangat marah, matanya menatapku dengan penuh kebencian. Aku melirik kearah Juna yang sudah terkapar tak berdaya. Aku gemetar.
“Rin, aku bisa jelasin semuanya. Ini enggak seperti yang kamu lihat. Tolong jatuhkan senapanmu. Aku mohon. Jangan gegabah.”  Aku memohon dengan sangat pada Rina, aku berucap terbata-bata. Aku shock.
Rina hanya mengeleng-gelang sembari menahan segala rasa kekecewaan, air mata terjatuh dari pelupuknya. Tapi ia tetap mengarahkan senapannya itu kearahku. Aku semakin takut ketika aku melihat jarinya akan menarik pelatuk dari senapan itu. Tubuhku kaku. Dan tiba-tiba suara tembakan terdengar untuk yang kedua kalinya. Aku terjatuh. Aku merasa ada sesuatu yang menembus perutku. Rasanya luar biasa sakit, peluru itu menembus perutku, mungkin bersarang kelambungku. Aku pucat pasi. Rina menjatuhkan senapannya. Dan pergi meninggalkan aku dan Juna yang sudah tak berdaya. Tanganku terus menetupi lubang peluru diperutku. Aku melihat Juna yang berada disamping kiriku. Matanya sudah tertutup rapat. Aku tak melihatnya bernapas. Aku terpukul. Aku mencium bibirnya. Aku berusaha mengambil ponselku dari saku celana. Kutekan nomor telepon kantor polisi. Dengan terbata-bata aku memberi tau bahwa ada korban tembakan dialamat yang aku sebutkan. Aku menjatuhkan ponselku dan berusaha untuk berdiri. Aku ingin mencari Rina, aku masih ingin menjelaskan semuanya pada Rina.
Aku terus berjalan dengan susah payah. Napasku sungguh terasa berat. Aku terus menerus menutupi luka tembakku dengan telapak tangan. Darahnya sudah mulai banyak keluar. Semua orang yang ada disekitarku melihat dengan wajah bertanya-tanya. Aku tidak peduli. Aku terus berjalan dan berjalan. Kakiku mulai terasa sangat berat, udara yang dingin merasuk keseluruh tubuhku. Aku menjatuhkan diriku ke tanah. Mencoba mengatur napas. Namun semakin lama pandanganku semakin berkunang-kunang. Lalu tiba-tiba gelap. Ya, sangat gelap. Dan muncul sosok Juna dalam kegelapanku itu, menghampiriku, dan mengucapkan kata maaf, lalu hilang begitu saja. Kegelapan menghantuiku lagi setelah bayangan Juna menghilang.

***

Mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit. Aku memperhatikan seluruh ruangan dimana aku terbaring. Aku tak tau ini dimana. Aku seperti terbangun dari mimpi. Terbangun dari tidur panjang. Aku berusaha untuk bangkit dari tidurku. Namun aku tak kuat untuk bangun, sekitar perutku begitu terasa perih. Dan suara seseorang laki-laki paruh baya yang datang dari luar ruangan menyadarkanku.
“Jangan terlalu banyak bergerak. Luka tembakmu belum pulih.”
Aku memejamkan lagi mataku, kali ini aku merasa air mata mengalir melewati pipiku.

           
Jakarta, 9 Februari 2012

Selasa, 07 Februari 2012

Dini Hari di Stasiun Gambir (Part2-ending)


Pagi ini aku tiba dirumah sekitar pukul 08.00 WIB. Sesegera mungkin aku membuat sarapan dan memakannya. Perutku lapar sekali sejak tadi malam. Tak ada yang aku makan sejak berada di Stasiun, hanya minum, minum dan minum. Entah itu kopi hitam panas, Ekstra Joss dingin, air mineral dan sekaleng Greens Sands. 
Nasi putih dan telur mata sapi yang kusantap pagi ini begitu nikmat rasanya setelah rasa lelah menghampiri tubuhku yang mulai terlihat lusuh. Setelah makan, aku menyempatkan diri untuk menonton televisi sembari rebahan untuk melemaskan otot yang menegang. Mungkin sekitar 60 menit aku bersantai ria didepan televisi. Aku melihat arah jam dinding, sudah hampir pukul 10.00 WIB. Badan terasa begitu lengket dan berdebu, tapi aku malas untuk membersihkan diri. Aku masih punya hutang untuk melanjutkan ceritaku tentang dini hari di Gambir tadi. Denagn berat aku pergi ke kamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan membasuh wajah agar terasa lebih segar hingga sedikit kantuk yang kurasakan juga hilang.
Setelah merasa sedikit segar aku kembali kedalam kamarku yang tak pernah tertata rapi. Melanjutkan sisa kisah yang sempat berhenti kutulis karena terlalu asik berbincang dengan keempat teman bicaraku dini hari tadi.
Keempat backpacker tadi adalah mahasiswa-mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta angkatan 2008 yang sedang mengisi masa liburan mereka dengan memenuhi hobinya berpetualang kebanyak tempat. Mereka baru saja tiba di Gambir setelah sebelumnya berangkat dari salah satu stasiun di kota kembang. Ternyata mereka baru saja sedikit menjelajahi dataran Sunda.  Dari Bandung, Garut, Cirebon, Tasikmalaya, dan kembali lagi ke Bandung. Dan datangnya mereka ke Jakarta ini, tepatnya di Stasiun Gambir. Hanyalah untuk melepas lelah, karena siang ini mereka berencana untuk melanjutkan petualangan mereka ke Batam dengan menggunakan transportasi udara dari bandara Soekarno-Hatta. 
Beruntung sekali aku bertemu dengan mereka di stasiun ini, terlebih mereka baru saja pulang dari petualangannya di tanah Sunda, tanah yang pada dasarnya adalah kota asal keluargaku. Dan otomatis aku sedikit banyak tahu mengenai seluk-beluk tempat-tempat itu. Aska, yang paling banyak bicara dan paling jenaka memaparkan segala pengalaman mereka saat berada di Garut.
“Wah, gila Ta. Gue baru ngeliat ada domba gedeee banget di Garut, bagus banget. Pas gue tanya harganya sama yang punya, gue langsung bengong, 35 Juta, Ta.! Gila, gue bisa keliling Sumatra kali ya tuh.. niatnya pengen gue bawa kabur tuh domba. Tapi gue baru inget, gue juga udah punya domba yang lebih gede. Hahaha.” Cerita Aska sembari melirik Dodi. Dodi hanya mengumpat dan ikut tertawa. Begitupun Aku, Abi dan Hilman. Tawa kami semakin memecah malam manakala sesekali secara bergiliran mereka mengeluarkan kata-kata yang menggelikan dan konyol. Dan ketika tawa sudah mulai sayup-sayup mereka melemparkan beberapa pertanyaan singkat padaku. Tinggal dimana? Kuliah apa kerja? Ngambil jurusan apa? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang melengkapi pertanyaan pokok tersebut. Aku menjawabnya, dan lalu kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada keempatnya.
Abi adalah hasil kawin silang dari darah Jogjakarta dan Banten. Aska asli orang Jogjakarta. Hilman keturunan Medan, nama lengkapnya Hilman Sihombing. Dan Dodi ternyata asli keturunan betawi, domisilinya di kota Depok. Namun karena kepentingan pendidikan, jadilah ia menetap secara kontrak disebuah kamar kost di kota Jogjakarta. Begitu pula dengan Abi dan Hilman, keduanya juga menyewa kost-kostan disekitar kampus UGM Jogja. Sedangkan Aska, masih tinggal bersama kedua orang tuanya, namun tidak jarang Aska bermalam di salah satu kostan kawan-kawannya ini.
“Eh iya, lo gak dicariin sama ortu lo, Ta? Udah hampir pagi nih.” Kata Abi disela-sela guyonan kami.
“Dicariin sih, ya tapi entar aja deh, lagi asik.hehe.”
“Ya, bagus deh.. Jadi lebih banyak kan waktu ngobrolnya.” Sambung Aska sedikit menggoda. Aku hanya tersenyum kecil.
“Eh iya, Ta. Tadi lo bilang lo orang Tasik kan? Dimananya tuh?” Tanya Dodi tiba-tiba.
“Gue di Singaparna. Sampingnya Singapur. Hehehe. Kenapa? kemaren kesitu?”
“Enggak, kita buta banget Tasik pas kesana, cuma ke Pelabuhan Ratu doang.” Saut Dodi.
“Iya, Ta.. ada apa aja sih emang di Tasik?? Kemaren kan kita ke Bandung, jelas banyak objek-objek yang kita datengin,  kayak Tangguban Perahu, Kawah Putih dan lain-lain. Terus pas ke Garut emang jelas kita pengen tau hal-hal mengenai Domba Garut yang udah membudaya banget itu. Nah pas ke cirebon kita pergi ke tambak udang. Giliran udah nyampe Tasik kita bengong, gak ada tujuan. Yang gue tau cuma Pelabuhan Ratu. Itu juga dari TV. Hehehe” Sambung Aska.
“Waah, kalo di Tasik emang menurut gue sih gitu-gitu aja.. hehehe. Paling ada kawah Galunggung sama Cipanas.” Mereka mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku. “Oh iya, tapi ada yang asik juga tuh, pedalaman suku gitu. Namanya Kampung Naga. Next lo semua harus kesitu.”
“Wah, emang penduduk umum dari luar boleh masuk?” Tanya Hilman. Disertai beberapa pertanyaan lainnya dari yang lain mengenai Kampung Naga. Aku menjawab sepengetahuanku, dan sepertinya mereka cukup interest dengan penjabaranku mengenai Suku ini.
“Lain kali ikut kita packer-an dong, Ta. Kayaknya nambah temen enak nih.” Ajak Abi.
“Haha.. pengennya sih gitu. Gue udah lama punya keinginan untuk ikut jadi backpacker. Tapi belum dapet ijin dari bokap gue. Biasa cewek, selalu diperlakukan lebih protektif dibanding cowok. Hehe.” Mereka mengangguk angguk mengerti. 
Obrolan kami pun semakin pagi semakin panjang saja. Tidak hanya soal hobi dan tempat-tempat yang asik di Indonesia yang bakal menjadi tempat tujuan mereka nanti, tapi juga soal pribadi. Seperti keluarga, dan tidak ketinggalan soal cinta. Karena suasana perbincangan semakin hangat, tanpa sadar aku banyak bercerita tentang masalah asmaraku. Mulai dari yang senang, sampai yang sedikit melow. Dan ketika menyadari aku telah banyak berkoar masalah cinta pada mereka, aku sedikit malu dan salah tingkah.
“Haha.. kenapa, Ta?” kata Abi yang menyadari kesalah tingkahanku.
“Gak papa.. baru nyadar aja gue kalo ngomong banyak gini. Jatohnya gue curhat colongan. Hahaha. Tengsin kali. Ini bukan topik yang harusnya dibicarakan sama orang-orang backpacker kayak kalian.” Kataku cengengesan.
“Heeei..Heei. Cinta itu universal, Ta. Luas. Emang cuma musisi dan sastrawan doang yang bisa merasakan cinta? Kita-kita orang juga kan peka masalah kayak gitu. Tapi bedanya kita mungkin lebih santai menanggapinya. Karena kisah-kisah macam itu bukan menjadi dasar pemikiran kita saat kita menjalani kegiatan backpacker ini. Kan kalo musisi dan sastrawan jatohnya menuangkan hal-hal macam itu lewat karya mereka, nah kalo kita dibawa enjoy. Karena alam memberi kita banyak ruang untuk berpikir luas. Gak kesitu lagi kesitu lagi. Hehe. Jadi kita terlihat lebih santai menanggapi apa itu cinta..” Jelas Abi, ditandai anggukan kecil dariku tanda setuju. Ya, seorang backpacker memang selalu kelihatan santai menanggapi apa itu cinta. Seperti dia yang disana...
Aaahhh... Itulah sebabnya aku ingin sekali menjadi backpacker. Aku ingin waktuku lebih banyak lagi dengan alam, tentang hidup yang dibumbui cinta. Bukan cinta yang dibumbui manis getirnya masalah hidup. Aku ingin alam selalu mengingatkanku atas kuasaNya.

Tak terasa fajar sudah terbit cukup tinggi, aku melihat jam di tanganku, sudah hampir pukul 06.00 WIB. Sudah waktunya aku pulang. Aku sudah mendapatkan sedikit pelajaran disini. Lewat orang-orang yang berlalu lalang, dan lewat keempat backpacker muda ini. Aku bangkit dari dudukku, dan berpamitan pulang pada Abi, Aska, Dodi dan juga Hilman. Mereka juga berdiri dan menerima jabatan tanganku. Merasakan genggaman hangat jabatan tangan mereka sedikit memberi kekuatan padaku. Entah kekuatan apa, yang jelas aku merasa motivasiku berkobar-kobar.
“Semoga perjalanan kalian ke Batam selamat dan menyenangkan. Sampai ketemu lagi, walau gue gak tau kapan. Hehe”
“Oke, mungkin kita ketemu lagi saat lo udah mulai melangkah menjadi backpacker kayak kita. Hehe.” Sambut Hilman. Aku tersenyum dan mulai melangkah meninggalkan mereka. Namun panggilan dari Abi membuatku menoleh lagi dan menghentikan langkahku. Dia sedikit berlari kearahku, memberikan rangkulan perpisahan. Aku terkejut, tapi menyambut rangkulan itu. Rangkulan hangat dari teman bicaraku. Teman bicara satu malam. Dan saat Abi melepas rangkulannya, ia merogoh saku celana pendek yang ia kenakan. Mengeluarkan sedikit bunga Edelwish ungu yang begitu cerah, memberikannya padaku.
“Selalu ada yang abadi dikehidupan. Selama masih hidup, selama itu pula kata ‘abadi’ dapat disematkan. Kayak Edelwish ini.” Kata Abi seraya tersenyum dan mengusap lembut bahuku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Aku kehabisan kata untuk mengungkapkan betapa hebatnya pertemuan ini. Pembelajaran selalu ada dimana kita berpijak, kawan!
Aku kembali membalikan badan dan terus berjalan pulang. Terimakasih kawan-kawan satu malam.

Teruntuk Abi, Aska, Dodi dan Hilman
Jakarta, 7 Februari 201

Gue rada nyesel nih gak ngasih nomor hape gue ke Abi waktu dia minta, tapi emang gue sengaja sih. Pertemuan-pertemuan pertama yang gak disengaja ini memang indah karena tidak adanya rencana untuk bertemu. Dan mungkin nanti saat pertemuan selanjutnya menjadi lebih menarik lagi ketika kita tidak sengaja bertemu. hehehe. 

Dini Hari di Stasiun Gambir (part1)


Empat pasang kaki melangkah di hadapanku. Masing-masing membawa beban dipunggungnya. Mungkin Advance, Eiger, Alpina atau Cibaduyut punya. Semuanya kaum Adam. Usia mereka mungkin tak jauh dariku. Mereka begitu terlihat kusam dengan rambut yang sudah tak tertata dan sedikit berminyak.
Setelah beberapa meter berlalu dari hadapanku, mereka berhenti ditempat duduk yang tersedia di stasiun. Mungkin jaraknya 6 meter dari tempatku duduk saat ini.Mereka menjatuhkan tubuhnya masing-masing pada sandaran kursi tunggu. Sepertinya mereka kelelahan, atau ingin menunggu keberangkatan kereta yang menjadi tujuan mereka. 
Namun argumenku dipatahkan oleh realita yang kulihat. Mereka tidak sedang dilanda kelelahan. Canda riang yang tiba-tiba keluar dari keempat anak Adam ini meyakinkanku bahwa mereka tidak sedang lelah, malah mereka sedang menikmati situasi. Dan sleeping bag yang mereka keluarkan menandakan kalau mereka tidak sedang menunggu keberangkatan salah satu tujuan kereta malam ini. Mereka ingin bermalam disini. Di stasiun Gambir. 
Mereka semua adalah backpacker. Ya, backpacker. Sebutan untuk orang yang hobi berpergian, tapi bukan traveling, ini lebih menantang, seorang backpacker dituntut untuk tidak manja, dengan kata lain mereka harus siap dengan kondisi terburuk sekalipun. Ya contohnya seperti mereka itu, siap tidur disembarang tempat dengan alasan menghemat pengeluaran finansial atau alasan lainnnya.
Aku kembali memperhatikan kawanan backpacker itu sembari terus menuangkannya lewat tulisan dalam laptopku ini. Sesekali salah satu diantaranya –yang membawa carrier merah- menangkap tatapanku yang sedang asik mengamati. Lalu lama kelamaan keempatnya ikut pula memandang kearahku. Mungkin si pengguna carrier merah memberikan kode-kode tertentu pada kawannya yang lain agar menoleh kearahku dengan mengatakan “Liat ke arah jam sembilan, ada cewek cantik sendirian malem-malem maen laptop distasiun.” Haha (intermezo dikit).  
Jadilah aku sedikit salah tingkah karena diperhatikan empat pasang mata yang tidak aku kenal. Tapi aku berusaha untuk tetap terlihat santai dengan melemparkan senyum ramah yang disertai sedikit anggukan kepala kearah mereka. Dan syukurnya, mereka membalas senyumanku. Aku membuang muka kembali ke arah laptop, melajutkan tulisanku ini. 
Melihat sekumpulan backpacker seperti ini membuatku merasa iri, aku juga ingin menjadi salah satu diantara mereka. Mengembala ke tempat-tempat yang tak terduga. Tidur dengan mencium aroma tanah yang basah atau debu yang menyengat sekalipun. Aku ingin merasakan hujan deras ditubuhku yang dibalut ponco atau jas hujan. Aku ingin pakaianku berlemarikan Advance 100 liter. Aku ingin tidur dibungkus sleeping bag. Aku ingin luasnya langit menjadi benda terakhir yang kulihat sebelum aku menjelajah kedunia mimpi. 
Tapi rasanya saat ini itu hanya sebuah angan kosong, aku masih belum mendapat ijin dari bapakku untuk melakukan itu semua. Lagi pula masalah ekonomi menjadi salah satu faktor yang ikut mempengaruhi tertundanya keinginanku ini. Mana mungkin aku menjadi seorang backpacker dengan ongkos jalan dari orang tua? Itu tabu bagiku. Untuk masalah finansial yang tak ada kaitannya dengan pendidikan aku tak mungkin menengadahkan tangan pada orang tuaku. Pantang buatku. Mau tak mau setidaknya aku harus memiliki pekerjaan sendiri untuk hasilnya nanti dapat membiayai petualanganku. Dan ketika saat itu tiba pun belum tentu aku diijinkan untuk menjadi backpacker oleh bapakku. Aku ini wanita, anak gadis, orang tua mana yang tidak kuatir anak gadisnya menjadi seorang backpacker? Aku rasa tidak ada. Huh. Bersyukurlah kalian kaum Adam.

Ketika pikiran-pikiranku dipenuhi mimpi menjadi seorang backpacker, seorang pemuda berperawakan cukup tinggi dan ideal menyapaku dari samping kanan.
“Hei..”
Aku menoleh dan memperhatikannya untuk beberapa detik. Oh, ternyata pemuda yang tadi. Si empunya carrier merah. Aku tersenyum, namun tidak terlalu ramah. Cepat-cepat aku membuang muka ke arah layar laptopku, berharap pemuda itu segera meninggalkanku sendiri. Tapi aku salah. Dia malah melanjutkan sapaannya dengan sedikit pertanyaan ramah. Dan ini membuatku tidak enak untuk tidak menjawabnya dengan ramah pula.
“Sendiri?” kata pemuda itu.
“Iya” aku menjawab seraya tersenyum. Dan balik mengajukan pertanyaan “Ada apa ya, bang?”
“Ya, gak apa-apa. Heran aja ada cewek sendirian di stasiun. Mau pulang kampung apa gimana nih?”
“Haha.. emang muka gue kayak orang kampung ya bang? Gue iseng doang kok kemari. Nyari inspirasi. Hehe.” Kali ini aku menatapnya, wajahnya kira-kira setipe dengan Raka (gitaris band Vierra), rambutnya pun kurang lebih sama, kalau Raka memang sengaja ditata agar terlihat berantakan, namun pemuda ini memang sepertinya tidak menata rambutnya sehingga sedemikian rupa. Kulitnya sawo matang dan cukup bersih.
“Haha.. bukan gitu juga. Inspirasi apa? Penulis ya? Oia kenalan dulu, gue Abi.” Ucapnya seraya menyodorkan tangan. Akupun meyambutnya dengan jabatan.
“Tata (gue gak pernah nyebutin nama asli ketika berkenalan dengan orang asing), enggak bang.. kok bisa nebak gue penulis?”
“Bukan nebak, tapi atas dasar pengamatan. Noh, lo bukanya word document, udah penuh juga tulisannya.” Jelas pemuda bernama Abi ini seraya menunjuk layar laptopku.
“Hehe iya juga ya.. tapi gue bukan penulis bang. Cuma sedikit suka nulis. Itu pun hal-hal yang gak pernah jelas yang gue tulis.” Aku memaparkan secara jujur.
“Ahh, merendah nih.” Lalu Abi menolehkan wajah kearah kawan-kawannya yang lain ketika salah satu diantaranya memanggil Abi. Entah bicara apa Abi dengan kawannya itu, mereka hanya menggerakan bibir masing-masing. Lalu Abi kembali bicara padaku, “Gabung yukk ama temen-temen gue. Biar lo ada temen ngobrol.” Aku hanya mengangguk, namun belum juga beranjak dari tempat dudukku.
“Iya, bang. Duluan aja.”
“Yee.. gak usah takut gitu kali, kayaknya takut banget.. hehe. Kita bukan penjahat kok, cuma sekumpulan backpacker. Lagian kan ini stasiun rame. Bisa digebukin gue kalo jahatin orang. Hehe. Yuk gabung.” Abi meyakinkan, mungkin karena ia melihat sedikit keraguan yang tampak diwajahku saat Abi mengajakku nimbrung dengan kawan-kawannya yang lain.
“Haha.. Yaudah bang, oke deh.” Kataku mengiyakan ajakannya.

Aku berkenalan dengan ketiga kawan Abi. Mulai dari Aska, Dodi dan Hilman. Aska memiliki raut wajah yang paling terlihat muda dari yang lainnya, badannya juga bisa dibilang kecil untuk ukuran laki-laki. Sedangkan Dodi nampak seperti pemimpin rombongan, karena ia terlihat seperti yang paling dewasa diantara yang lain. Sedangkan Hilman tidak jauh beda dengan Abi secara postur tubuh, namun Hilman berperawakan asia timur. Seperti kokoh-kokoh penjual alat elektronik di Mangga Dua. Hehe.
Aku banyak bercerita dengan mereka, sebaliknya mereka pun demikian. Kadang kami menyelipkan guyonan-guyonan kecil pada cerita-cerita kami. Dan itu membuat suasana menjadi lebih akrab. Ini yang aku suka dari seorang backpacker, mereka selalu ramah pada siapapun. Termasuk orang asing yang baru mereka kenal.
Sembari sedikit demi sedikit aku mengetik tulisan ini, aku terus berbincang bincang dengan keempatnya. Dan semakin kesini pembicaraan semakin asik. Aku tak mau ketinggalan pembicaraan-pembicaraan ini. Jadi, ada baiknya aku berhenti mencatat tulisan ini. Aku akan menceritakan lagi apa yang kami perbincangkan nanti. Oke? Hehe.. to be continue.

Stasiun Gambir, 7 Februari 2012.02.13 WIB

Sabtu, 04 Februari 2012

DARI SEBATANG TEMBAKAU


Ijikan aku bicara sedikit saja
Tentang hidup, tentang cinta

Kantukku belum muncul hingga fajar ini tampak
Tembakauku hanya tinggal sebatang
Entah kenapa beberapa hari belakangan ini aku bersahabat dengan malam
Dengan iringan instrument gitar klasik
Aku bicara pada alam tentang hidup
Bicara pada alam lewat pikiran, khayalan, pertanyaan dan doa yang terus menerus berotasi di otakku
Dan sesekali mampir lewat luwesnya jari menari diatas keyboard komputer jinjingku

Hidup itu pertaruhan
Bisa menang bisa kalah
Tapi jangan berharap menang jika tidak berani mempertaruhkannya
Hidup bicara soal keberanian
Hidup bicara soal aturan
Soal dogma dan norma yang terkait paradigma

Namun saat aku bicara pada semua tentang hidup dan keberanian
Aku bicara padamu tentang cinta
Seperti ibu yang membersihkan berak si bayi
Seperti bapak yang mencuri pakaian jadi untuk makan anak istri
Seperti gadis penjaja buah dada yang hina demi famili

Cinta itu sebilah samurai
Bisa jadi senjata untuk melindungi diri dari lawan
Tak sengaja menusuk kawan
Atau bahkan harakiri

Ya,itulah cinta
Cinta itu sebilah samurai
Sebuah karya seni tinggi dari Penciptanya

Dan aku tak pernah mau hidupku diakhiri oleh sebilah samurai di tanganku
Aku tak mau harakiri
Itu bukan budayaku
Itu tak sesuai dengan dogma yang ku patut
Dan yang lebih penting lagi, aku penakut!
Lebih baik bunuh aku dengan samurai yang ada ditanganmu itu

Aahh,, sudahlah
Bicara hidup tak kan pernah ada habisnya
Bicara cinta apalagi
Sudahlah, sudah
Tembakauku pun sudah habis
                                                                        Jakarta, 3 Februari 2012, 04.58 WIB

Indra Sofian


Aku meneteskan air mata malam ini
Bukan soal cinta
Bukan derita
Dan juga bukan luapan isi keluh kesah
Air mata ini jatuh tanda rindu

Caranya menatap
Caranya berjalan
Caranya bersenda gurau dengan guyonan
Caranya menyemangati
Aku rindu sahabatku
Aku rindu kamu, Ndra

Kau banyak mengajariku
Tapi sama sekali tidak menggurui
Bahwa banyak hal terang yang dapat kita lihat dari sudut hitam
Bahwa getir bisa dijadikan manis
Bahwa sakit bisa dijadikan pemacu
Aku rindu abangku
Aku rindu kamu, Ndra

Kau ingat aku kan, Ndra?
Aku yang dulu sempat jadi gurumu
Oh,bukan, bukan
Lebih tepatnya jadi konsultan dari sedikit masalah hidupmu
Usiamu saat itu 28 tahun, dan aku 19 tahun
Kala itu aku berasa seperti kotbah pada Uztad
Uztad yang ditinggal Uztadzah. Haha

Aku menyematkan beberapa ayat dalam kalimat penjabaranku
Padahal kau sepertinya lebih tahu
Itulah hebatnya kamu, Ndra

Aku rindu teman bicaraku
Aku rindu kamu, Ndra
Aku rindu melihatmu dengan kaos lusuh
Aku rindu duduk dibelakangmu saat kau menunggangi kuda besimu
Aku rindu melihat kamu dengan segala kesederhanaanmu
Aku rindu keberanianmu

Mataku semakin deras mengluapkan airnya
Aku rindu kamu, Ndra
Cepatlah bebas
Berikan aku sedikit pembelajaran hidup lagi


Sumpah, gue gak kuat lagi nulisnya. Gue nangis dengan berlinangan air mata, tapi tanpa suara. Gue kangen lo, Ndra. penjara bukan tempat lo..!!

Hidup Adalah Perbuatan


Hidup adalah perbuatan, dan sampai detik ini aku masih berbuat di kehidupan. Perbuatan-perbuatan yang putih dan kadang hitam. Aku masih hidup. Aku ada dikehidupan. Dan aku berbuat sesuatu. Setiap malam kupandangi layar komputerku, duduk di depannya sungguh terasa sakit dipunggung, tapi aku heran, entah kenapa aku masih saja betah berlama-lama melakukan aktifitas rutin ini. Sembari ditemani sebotol bir dan beberapa batang rokok aku menikmati malamku yang tenggelam seiring bebasnya otak berpikir. Aahh, hidup memang indah kawan. Udara yang ku hirup, angin yang membelai wajahku, musik yang indah ditelingaku, imajinasi yang mampir saat aku meneguk alkohol atau menghisap sebatang rokok, cinta, sakit hati dan tertawa. Ahh, memang sungguh sempurna hidupku.
Dengar kawan, aku sedang bertanya-tanya, adakah hal yang lebih tinggi tingkatannya di banding tingkat kesempurnaan?? Jika ada, tingkat apa itu namanya?? Mengapa dibalik kehidupanku yang sudah aku anggap sempurna ini aku belum puas? Ada hal yang ingin aku capai lagi. Dan itu tinggi, tinggi sekali. 
Aku ingin limbung, aku ingin kepalang senang, aku ingin memuaskan nafsuku, aku ingin menaikan kaki diatas meja kerja, aku ingin menggambar di tembok besar Cina, aku ingin kamu, aku ingin berada disisiNya kelak jika sudah waktunya, dan aku mau semua yang aku mau tiba-tiba terjadi tanpa suatu apa. Haha tolol kan?? Ini hidup, hidup yang adalah perbuatan. Bagaimana semua bisa terjadi kalau tidak dibuat sebabnya?? Tidak mungkin bisa. Ya, inilah hidup, perbuatan. Dan inilah manusia, banyak mau, tapi banyak mengandai. Terlalu banyak alkohol, terlalu banyak rokok, terlalu sering mendengar musik dan menatap layar televisi yang semakin tolol.

Dan postingan ini juga tolol, mening jangan dibaca. Kalo udah terlanjur, ya derita. Gue cuma bisa berdoa, semoga yang baca gak jadi tolol juga nantinya. Haha. Cukup penulis gadungan ini yang tolol. Oke? Sekian, dan terimakasih. Salam nekat! Loh?? Hahaha.

                                                                                    Jakarta, 31 Januari 2012

Langit Tak Lagi Biru


Ceria hanya terpancar diwajahku, tetapi tidak dihatiku
Hujan batu kurasa jatuuh dihatiku, membuat lubang luka yang semakin besar
Tanpa sadar, luka itu kubuat sendiri, semaki perih dan aku tidak berusaha untuk mengobatinya
Ternyata benar apa kata seorang kawan “berharap itu menyakitkan!”
Tapi tak apalah,itu memang resiko seorang pemimpi ulung macam diriku ini

Aku tertawa kecil dalam hati, mengeleng-gelengkan kepala tanda menyadari betapa bodoh diri
Aku mengangkat bendera putih tanda menyerah
Kebodohan tak akan pernah berujung kemenangan
Aku tersenyum kecut pada nuraniku sendiri seraya berkata “sudahilah anganmu itu!”
Tapi dia malah menangis
Jelas itu membuatku mentertawakan lagi kesedihanku

Kini aku memilih untuk memmbohongi dalamnya hati
Dan kebodohan itu secara tidak langsung melukai juga hati seorang laki-laki yang tulus
Aku berdusta padanya karena hatiku masih penuh dengan harapan tentangmu
Sebenarnya aku tak ingin begini
Melukai hati yang tulus mencintai
Tapi aku sudah lelah menghadapi bekunya hatimu
Aku butuh pelampiasan!

Aku terus menentang hujan, tanpa perlindungan
Dan kau tetap dingin tak perduli
Aku tau sebabnya
Sebab yang harusnya benar-benar aku terima
Tapi aku tidak bisa!

Kau membiarkanku berlari sendiri dibawah guyuran hujan tanpa berbuat apa-apa
Dan aku mengerti
Harus kumaklumi walau awan hitam bernaung jiwa
Semua kuterima
Maafkan aku wahai pengisi hati bermata indah
Maaf

Jakarta, Oktober 2011
For my dear, Rizqy Khawarismi Suwardi

(baru keposting) hehe

Aku Ingin


Aku menarik napas panjang tanda lelah
Aku lelah berpikir
Aku lelah menahan rasa
Aku ingin teriak
Aku ingin berlari
Tapi aku tak punya tenaga barang sedikitpun
Aku terseok seok
Belum sampai tujuan aku sudah muntah
Lunglai rasanya

Hei, kau! Senang kah kau melihatku seperti ini?
Senang??
Aku bukan seorang entertainer
Aku bukan penghibur
Aku bukan penghibur yang bisa kau panggil saat kau butuh hiburan

Jiwaku sedang luka
Sakit!
Alam membawanya terbang tinggi
Dan semakin tinggi semakin sakit aku merasa
Tolong tarik aku dari bawah
Aku sudah tak tahan berada di awang awang
Aku ingin merebahkan diri diatas tanah
Mencium wanginya rumput yang masih basah