Aku
terduduk didepan layar komputerku, mencoba menuangkan pikiran lewat cerita
singkat, sajak, atau sebuah artikel yang didasari pengalaman sendiri. Sepuluh
menit, tiga puluh menit, bahkan hampir dua jam aku memutar otak untuk mencari
garis besar atas suatu pemikiran. Tetapi hal itu belum juga kudapat. Kemana
ujung pemikiranku? Aku tidak tau.
Terlalu banyak cabang yang melingkar
diotakku, sangat banyak, mungkin jika otakku berupa helaian benang maka
benang-banang itu sudahlah kusut. Tak terlihat lagi mana kedua ujungnya. Aku
ingin berdiri pada ideologi awalku mengenai konsep kenegaraan yang berkaitan
dengan doktrin, berkoar-koar tentang sistem pendidikan, atau bahkan bicara soal
dogma dan kehidupan. Namun problema yang tidak irasional mengacaukan pikiranku.
Ini terkait masalah perasaan, masalah cinta yang benar-benar irasional. Aku
benci terjebak oleh keadaan yang sedemikian rupa. Keberadaan rasa yang tidak
dapat aku paparkan secara ilmiah ini membuatku mati kutu. Aku merasa nanar akan
hal ini.
Aku
menghela nafas panjang dan kembali menyulutkan api dari korek gas di ujung
rokokku. Aku mencoba menenangkan diri. Untuk berpikir lurus, aku harus berada dalam
keadaan yang stabil. Instrument gitar klasik kupilih untuk memperbaiki kusutnya
otakku, karena berdasarkan penelitian musik klasik dapat membantu cara kerja
otak agar lebih baik. Tapi sepertinya itu tidak berlaku untukku, aku gagal
mengontrol daya pikirku. Yang aku tau dan yang aku ingin adalah bertemu
dengannya. Ya Tuhan, aku benar-benar sudah terjebak pada dalamnya rasa, aku
kecanduan cinta, Ya Tuhan.
Aku
mulai merebahkan diri diatas tempat tidurku, berusaha untuk masuk kealam mimpi
agar semuanya lebih mudah untukku lupakan. Tapi bukannya rasa kantuk yang menyerang,
malah mataku asik berputar mengelilingi setiap sudut kamarku ini. Kamar kost
tempatku melepas lelah dan menjalani tugas hidup ini menjadi saksi bisu dimana
aku dan dia saling mengucap kata cinta, bercumbu dalam hangatnya nuansa asmara.
Aku segera mengangkat tubuhku untuk duduk dan mengusap-ngusap wajah dengan
kedua telapak tanganku. Aku benar-benar rindu padanya. Dan mungkin, aku sedang
merasa cemburu?
Kuambil
poselku, kuketik sedikit kalimat, aku ingin mengirimkan pesan singkat untuknya.
Namun aku segera tersadar akan pesan singkat yang siang tadi telah ia kirimkan
untukku, isinya memberi kabar bahwa kekasihnya sedang mengunjunginya ke kostan
tempat ia tinggal. Untung aku segera ingat, aku tak mau mengganggu kebersamaan
mereka. Biarlah aku menunggu dia yang menghubungiku, aku harus sabar. Dan yang
paling utama adalah aku harus sadar posisiku, aku bukan satu-satunya bagi dia.
Bukan juga yang pertama. Keberadaanku dihidupnya mungkin baru sekitar dua
bulan, sedangkan hubungan yang ia jalin dengan kekasihnya sudah lebih dari
empat tahun. Aku harus sadar diri.
Waktu
sudah menunjukan pukul 21.13 WIB, pesan singkat darinya tak kunjung datang.
Kubuka sebotol Vodca yang kubeli setengah jam yang lalu, menuangkannya kedalam
gelas khusus dan mencampurkannya dengan sedikit Sprite serta sedikit perasan
jeruk nipis. Racikan ini adalah racikan favoritku, rasanya menjadi lebih segar
dan bau alkoholnya jadi tidak terlalu menyengat. Aku meneguknya sekaligus hingga
gelas itu kosong, merasakan cairan itu masuk keperutku adalah merasakan
pahitnya hidup. Aku seperti disadarkan lewat tamparan keras yang tidak sakit
secara fisik, tapi secara batin. Tapi entah mengapa kesakitan itu begitu nikmat
dan pemikiranku menjadi lebih terbuka, lebih bebas.
Aku butuh beberapa teguk
racikan itu lagi agar otakku bekerja lebih cepat. Aku tau persis takaranku agar
tak sampai mabuk, karena kebiasaan ini sudah menjadi teman sehari-hariku.
Rasanya hidupku kembali, kepercayaan diriku kembali dan sukmaku mulai
bernyanyi. Kusulut sebatang rokok lagi untuk menemani kesendirianku malam ini.
Ku putar lagu-lagu dari Heima Sigur Ros yang makin membuatku melayang bebas
dialam berpikir. Sungguh nikmat tak terkira. Nikmat sekali.
***
Nada
dering pesan singkat dari ponselku memotong daya pikirku, aku mengambilnya dan
membuka pesan itu. Dari Juna. Ya, laki-laki yang belakangan ini membuat otakku
sedikit runyam. Nama lengkapnya Arjuna Bramandita, satu angkatan denganku di
universitas yang sama. Ia mengambil jurusan sastra, sedangkan aku jurnalistik.
Kami berdua adalah anggota UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Teater, akupun
mengenalnya dari perkumpulan itu. Namun empat bulan yang lalu, ketika kami
sama-sama mengerjakan proyek event tahunan pagelaran seni teater mahasiswa
Indonesia, intensitas pertemuan kami semakin tinggi dengan dasar kerja tim.
Hampir setiap hari kami berdiskusi mengenai apapun yang berkaitan dengan
pagelaran seni teater nanti. Menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, serta
latihan-latihan yang harus dilakukan.
Kami selalu bertemu pada saat-saat itu,
sampai akhirnya entah mengapa kami jadi cukup dekat secara personal diluar
kegiatan itu. Tanpa basa-basi ia mengajakku untuk menjalin hubungan yang lebih
dari sekedar berteman. Dan tanpa banyak berkilah akupun merespon ajakannya itu,
walaupun saat itu aku tahu kalau Juna sudah menjalin hubungan khusus dengan
Rina, teman sejurusanku di universitas. Entah kenapa aku demikian mudahnya
meng-iya-kan, padahal aku jarang sekali cepat menerima keberadaan seorang lawan
jenis yang mencoba untuk menjalani hubungan denganku. Ini begitu tabu bagiku,
bahkan sampai detik ini aku belum tau alasan apa yang mendasari pengambilan
keputusanku itu.
Kubuka
isi pesan singkat dari Juna.
-SAYANG-
Aku
tersenyum dan membalas pesan singkat itu.
-IYA
SAYANG, UDAH PULANG RINANYA?-
-UDAH
KOK, BARU AJA AKU ANTERIN DIA PULANG, NIH AKU BARU SAMPE RUMAH. KAMU LAGI
NGAPAIN? MAAF YA LAMA..-
-OH,
AKU LAGI DENGERIN LAGU DOANG, GAK PAPA KOK SAYANG. KAMU LAGI NGAPAIN? TADI
NGAPAIN AJA SAMA RINA?-
-AKU
LAGI MAKAN, KAMU UDAH MAKAN? YAH, UDAHLAH GAK USAH DIBAHAS AKU NGAPAIN-NGAPAIN AJA
SAMA DOI. HEHE.-
Ya,
aku paham maksud Juna, ia mungkin tak ingin bercerita agar aku tidak terbakar
rasa cemburu. Walau sebenarnya aku memang sudah terbakar cemburu sejak tadi
siang. Dan kecemburuanku hari ini bukanlah kecemburuanku yang pertama.
Obrolan
lewat pesan singkat ini terus berlanjut. Walau hanya berisi candaan, cukup
bagiku untuk
mengobati segala kegelisahan dan rindu, apalagi saat ia mengungkapkan
kata cinta yang selalu membuat hatiku melambung tinggi. Dan esok hari Juna
berencana untuk mengunjungiku, dia akan datang ke kostanku. “Besok giliran kamu
ya, Sayang..hehe” Candanya, tapi sebenarnya candaan itu membuatku sedikit
sakit. Siapa yang mau di gilir seperti ini? Huh. Aku hanya mengusap dada dan
menghela nafas. Aku harus sabar, ini memang sudah resiko yang harus kuambil.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 00.35 WIB, sudah dini hari. Kamipun
menyudahi obrolan ini dengan ucapan selamat tidur, walau sebenarnya aku belum
ingin tidur. Entah kenapa ada yang mengganjal dihatiku. Ya, selalu ada yang
mengganjal. Mungkin hubungan ini membuatku sering gelisah, hubungan yang
harusnya tidak aku jalani. Bagaimana tidak? Aku bercinta dengan kekasih
temanku. Harusnya aku tidak seperti ini, tapi lagi-lagi aku dibutakan oleh
kekuatan rasa.
Mataku
belum merasakan kantuk, sudah pukul 01.30 dini hari. Aku benar-benar gelisah,
aku lelah seperti ini, rasanya ingin sekali aku sudahi, dalam posisi seperti
ini aku adalah yang paling sering merasa sakit. Aku tau, mungkin nanti saat
Rina mengetahui hubungan gelapku dengan Juna, pastilah ia akan begitu kecewa
dan sakit hati. Tapi untuk saat ini, akulah yang terus menerus tersakiti oleh
keadaan. Aku ingin menyudahinya, tapi bukan menyudahi hubunganku dengan Juna.
Semakin kesini aku semakin berharap hubungan Juna dan Rina cepat kandas, agar
aku menjadi satu-satunya bagi Juna. Tapi disisi lain aku juga tidak ingin
membuat Rina begitu terluka dengan kehadiranku. Ahh, entahlah.. aku dilema.
Kubuka
lemari pakaianku, aku mengambil bungkusan kecil yang ada dibawah tumpukan
pakaianku itu. Sebungkus kecil daun ganja yang sudah kubeli 2 hari yang lalu,
kini tinggal sisa setengahnya, mungkin cukup untuk tiga linting lagi. Aku
mengeluarkan kertas lintingan yang ada didompetku, merobeknya satu helai, dan
mulai menuangkan sedikit ganja diatasnya. Ini ganja kualitas bagus, tidak
terlalu kering, warnanyapun masih coklat kehijau-hijauan, tidak coklat pekat.
Jadi aku mencampurnya dengan sedikit tembakau untuk menghemat pemakaian.
Kulinting
ganja ini menjadi batangan yang siap dibakar, dan ketika aku menyulutnya dengan
api serta menghisapnya, seketika itu juga aku mencium aroma yang luar biasa
nikmat. Setiap hisapan dan hembusan asapnya kuhirup lagi. Dalam-dalam kuhirup,
sebisa mungkin agar asap-asap itu tak terbuang percuma. Kuhabiskan selinting
ganja itu, kamarku penuh dengan asap ganja yang terbakar, aku merasa terbang di
awan, nikmat sekali, sampai akhirnya aku jatuh kealam mimpi.
***
Aku terbangun dari tidurku, ternyata
sudah pukul sepuluh pagi. Aku terduduk diam diatas kasurku, mencoba terus
mengumpulakan jiwaku yang belum penuh terisi. Ketika sudah terasa cukup segar,
aku bangkit dari tempat tidurku. Meraih handuk yang tergantung di tembok kamar
dan segera pergi mandi. Setelah selesai mandi aku menelpon warung makan didekat
kostanku untuk memesan sarapan pagi ini. Sembari menunggu pesanan datang, aku
merapikan kamar kost-ku. Sisa-sisa nafas semalam aku bersihkan, aku membuang
sisa-sisa itu, mulai dari abu rokok yang memenuhi asbak, gelas-gelas, kaleng
Sprite dan ampas potongan jeruk nipis. Botol Vodca yang masih berisi setengah
aku simpan lagi ditempatnya, begitu pula bungkusan daun ganja yang masih
tersisa itu kusimpan lagi dilemari pakaian.
Setelah semua
terlihat cukup rapi dan bersih aku mulai menyantap sarapanku yang sebelumnya
sudah diantar oleh si pengantar makanan. Ketika aku sedang asik melahap, Juna
tiba di halaman depan kamar kostanku dengan Thundernya, aku tersenyum
menyambut.
“Hei, makan siang apa sarapan?”
Tanya Juna begitu masuk kekamar kostanku. Kostan yang aku sewa ini bisa
dibilang cukup bebas, karena siapapun boleh bertamu tanpa jam-jam tertentu.
Bahkan siapapun bisa menginap kapan saja, sekalipun itu lawan jenisku.
“Nyarap..
hehe. Kok gak sms dulu? Tau-tau dateng gitu.. Untung aku udah bangun.”
“Biar
surprise.. hahaha. Ya kalo kamu belum bangun tinggal aku bangunin, gitu aja
susah.”
“Haha..
biasa aja ah, gak surprise juga. Udah makan belom? Makan nih..” kataku sembari
menawarkan makan.
“Gak
ah, aku udah makan, yaudah kamu abisin aja dulu, Ay.” Jawab Juna sembari
mengambil gitar dari atas tempat tidurku dan mulai memainkannya.
Setelah
aku selesai menghabiskan makananku, aku mendekati Juna. Bersandar di bahunya.
Juna pun segera menaruh gitarnya agar dapat memelukku.
“Aku
kangen kamu, Jun. Dua hari gak ketemu aja udah kangen. Hehe.” Ucapku sambil
terus bermanjaan.
“Yaiyalah,
itulah hebatnya aku. Hehe. Aku juga kangen kok” Candanya diikuti sebuah kecupan
hangat dibibirku. Aku menyambutnya dengan hangat pula, memeluknya. Dan sesekali
kami melepaskan kecupan kami untuk saling berpandangan, lalu bercumbu lagi. Dan
semakin lama kecupan-kecupan kami berubah menjadi ciuman-ciuman bergairah.
Semakin hangat bergelora. Dan kami mulai tenggelam menikmati hawa napsu
masing-masing. Namun semuanya ku hentikan secara tiba-tiba, manakala aku
menyadari bahwa aku hanyalah simpanan bagi Juna. Aku merasa ini tidak adil
untukku, posisiku masih bayang-bayang untuk Juna, walau Juna begitu sering
meyakinkanku bahwa ia benar-benar mencintaiku, itu belum cukup untukku. Aku
tetap ingin menjadi satu-satunya. Dan Juna belum menunjukkan itikat untuk
menyudahi hubungannya dengan Rina.
“Kenapa
sih, Ay?” Tanya Juna padaku, dia ingin tau kenapa aku tiba-tiba meghentikan
cumbuannya.
“Gak
apa-apa, Jun. Aku Cuma gak mau aja, kamu masih sama dia.”
“Yaampun
Shephia... Aya.. gak gitu juga.. aku sayang sama kamu. Sumpah. Kamu sendiri
yang bilang sama aku kalo kamu bisa liat rasa sayang aku ke kamu tuh beneran.
Dan emang aku tuh gak pernah bohong sama kamu, Ay..” Jelas Juna padaku.
“Emang,
emang aku bisa liat kalo kamu itu beneran sayang sama aku, Jun. Tapi makin
kesini aku makin gak yakin kamu itu jujur apa enggak. Hampir tiga bulan aku
diiming-imingi ucapan kamu kalo kamu bakal ninggalin Rina. Tapi mana? Sampe
sekarang aku gak liat itu.” Kataku sedikit terbata-bata.
“Gak
secepat itu, Ay. Kamu ngertilah, aku sama dia udah lebih dari empat tahun. Kamu
harus sabar.”
“Kamu
selalu bilang kayak gitu dari awal, aku harus sabar, tapi sampe kapan, Jun??
Aku udah mulai cape sama posisiku.” Kilahku sedikit menaikan nada bicara.
“Kamu
udah gak kuat, Ay? Kamu mau kita udahan?”
“Iya,
aku udah gak tahan, Jun.. Tapi aku juga gak mau udahan gitu aja. Aku udah
ngerasa bener-bener sayang ke kamu. Aahh, aku juga gak tau Jun.. aku bingung.”
“Yaudah,
kamu harus sedikit lebih sabar lagi, plis..” Ucap Juna dengan tatapan yang
begitu dalam. Dan itu sedikit meredam emosiku yang semula begitu bergejolak.
Aku kembali menatap Juna dan segera memeluknya. Aku tak bisa banyak berbuat
selain meredam emosiku sendiri saat ini.
“Tapi
kamu beneran bakal putusin dia kan?” Tanyaku lagi.
“Kita
liat aja kedepannya, kita gak pernah tau kan?” Jawab Juna, dan itu membuatku
sedikit kecewa, tapi aku tidak bisa mengungkapkan kekecewaanku itu. Semua
begitu membuatku patah arang. Aku hanya tertunduk meratapi dan berusaha berikir
positif. Dipertemuan sebelumnya memang Juna pernah mengungkapkan bahwa ia masih
sedikit ragu padaku, bukan ragu bahwa ia mencintaiku atau tidak, Juna yakin
bahwa ia mencintaiku, tapi ia tidak yakin bakal bisa menerima aku apa adanya
atau tidak. Dia beralasan bahwa ia tidak begitu suka dengan pergaulanku, karena
aku alkoholik, karena aku ganjais, karena aku perokok dan karena aku sedikit
berbeda dengan wanita pada umumnya yang lebih bisa menempatkan dirinya sebagai
seorang wanita. Sedangkan aku? Aku terkadang lupa bahwa aku wanita, aku sedikit
tomboy, terlalu bebas, dan banyak hal negatif
lainnya yang harusnya bukan menjadi karakter dari seorang wanita. Aku
mencoba selalu memahami hal itu, walau aku sudah meyakinkannya bahwa aku dapat
merubah pribadiku agar menjadi lebih baik. Demi orang yang aku sayang, merubah
sedikit kebiasaan buruk bukanlah hal yang sulit. Tapi mungkin berbeda dengan
pemikiran Juna. Jadi, aku hanya bisa menerima alasan-alasan yang ia katakan
sembari terus meyakinkan diri bahwa apa yang diucapkan Juna bukanlah sekedar
kebohongan.
Juna
memelukku, mencoba menguatkanku yang terlihat lemah setelah mendengar jawaban
darinya. Aku menerima pelukan itu dengan hangat. aku menyingkirkan segala
perasaan takutku, yang aku tau saat ini adalah aku mencintainya, dan tetap
ingin terus bersamanya. Aku tak peduli
lagi aku jadi yang kedua, ketiga atau keempat sekalipun. Kembali kami berdua
berada dalam cumbuan sepasang kekasih. Hari ini sama seperti hari-hari
sebelumnya saat kami bersama, tertawa, bercanda ria, bernyanyi bersama,
menikmati hangatnya bercumbu dan lain
sebagainya. Aku sungguh menikmati setiap detikku bersama Juna. Walau kadang
sesekali ia menerima pesan singkat dan telepon dari Rina yang membuatku
terbakar api cemburu. Aku hanya mencoba mengerti dan menyadari posisiku.
Tak
terasa malam kian larut, ketika aku bersama Juna entah mengapa waktu kian
terasa begiti cepat berlalu. Ia bersiap-siap untuk pulang, malam ini ia tidak
bisa menginap karena harus mengerjakan tugas kuliahnya. Lagi pula besok pagi Juna
harus berangkat kuliah bersama dengan Rina. Dan sejak aku menjalin hubungan
dengan Juna, aku menjadi sering bolos kuliah. Bukannya aku menghindari Rina,
tapi aku malas melihat mereka berdua ada dihadapanku. Mendengar mereka sedang
berdua saja aku sudah merasa cemburu, bagaimana kalau aku melihat mereka berdua
didepanku? Mungkin aku sudah muntah karena cemburu yang begitu meluap.
“Besok
kamu kuliah gak?” Tanya Juna yang sudah berada di atas Thundernya.
“Enggak
ah, males. Kamu tau lah alesannya” Jawabku sembari menggeleng.
“Haha..
iya.. tapi jangan sering-sering juga kali bolosnya. Udah semester tujuh nih..
lagi siap-siap bikin skripsi malah bolos terus..” Katanya disertai anggikan
dariku. “Yaudah. Aku pulang ya, Ay. Dadah .”
Ia
melaju dengan motornya, aku memandang dari halaman kostan sampai ia hilang dari
pandangnku. Aku kembali kedalam kamar dan kembali lagi dalam kesunyian malam.
Waktu sudah menunjukan pukul 23.45 WIB. Aku belum mau tidur, aku ingin
melakukan aktifitas malamku seperti biasanya. Duduk didepan layar komputerku
sembari menulis beberapa artikel yang spat tertunda, serta aktifitas pendukung
lainnya seperti merokok dan minum. Aku melihat arah jam lagi, ternyata sudah
pukul satu dini hari. Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan singkat untuk
Juna,
-KAMU
UDAH SAMPE KOSTAN KAN, JUN?-
Tak
ada balasan, mungkin ia sudah tertidur.
Aku
kembali pada aktvitasku, namun entah mengapa aku sedikit dilanda kejenuhan. Aku
ingin keluar menikmati malam. Segera aku mengenakan sweeter dan celana lepis
panjangku. Aku ingin berjalan keluar, jangan pikir aku punya tujuan, aku
berjalan tanpa tujuan. Ya, berjalan kaki di tengah malam sendirian, dan tanpa
tujuan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mampir kesebuah warung kopi yang
aku lewati. Memesan segelas kopi hitam dan menyulut rokok lagi. Berbincang
bincang dengan penjaga warung dan pengunjung lainnya hingga pagi hampir tiba.
Ah, hidup ini begitu klise, kawan.
***
Seluruh
sisi dari kamar kost-ku begitu berantakan, aku tak banyak ingat mengenai apa
yang aku lakukan malam tadi. Yang aku ingat hanya aku banyak sekali meneguk
Vodca yang siang kemarin aku beli. Dua botol Vodca itu kini hanya sisa
seperempat botol, ternyata tanpa aku sadari aku telah menghabiskannya sendiri
tadi malam. Ah, aku pasti mabuk. Hingga saat ini pun aku masih merasa kepalaku
begitu berat. Kulirik jam dindingku, sudah lewat pukul satu siang.
Apa yang
terjadi padaku semalam? Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk
tidak minum alkohol sampai mabuk? Aku alkoholik, bukan pemabuk. Pasti ini semua
akibat pikiran-pikiran kacauku dua hari belakangan. Aku merindukan Juna, tapi
tak sedikit kabarpun datang darinya, baik itu pesan singkat, telepon atau
kehadirannya. Bahkan pesan singkat yang aku kirimkan tidak digubris olehnya.
Panggilanku pun di tolak. Kemana Juna dua hari ini? Apa ia sudah melupakanku
dan lebih memilih Rina? Lalu kenapa ia tidak bicara saja padaku agar aku tak
seresah ini? Ah, terlalu banyak pertanyaan yang muncul diotakku. Aku
merindukannya.
Aku
segera bangkit dari tempat tidurku dan segera pergi membasuh muka dan menggosok
gigi. Tanpa merapikan kamarku yang sudah sangat berantakan, aku segera mengganti
pakaian tidurku dengan t-shirt dan celana panjang, lalu sepatu kets hitam
segera kukenakan. Aku ingin berangkat kekampus, sore ini ada perkumpulan rutin
di UKM teater, dan yang lebih utama adalah aku ingin bertemu Juna. Aku harap ia
hadir dalam forum minggu ini, aku ingin mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaanku.
Setibanya
di kampus aku segera menuju ruang UKM teater, dan harapanku ternyata menjadi
nyata, Juna hadir dalam forum. Aku mengucap salam pada semua yang hadir, serta
berjabatan pada semua, termasuk Juna. Aku tak mau terlihat ada masalah
dengannya di depan umum, karena memang itu bukanlah hal yang patut aku tunjukan.
Karena publik telah mengenal Juna sebagai kekasih Rina, bukan kekasihku. Dan
aku memang menyembunyikan hubungan kami dari semua orang, hanya aku dan Juna
yang tau. Ya, cukup aku dan Juna yang tau. Forum kali ini hanya dihadiri
beberapa anggota, tidak lebih dari sepuluh orang, karena memang tidak ada hal
penting yang harus dibicarakan dalam forum kali ini. Kami hanya saling
bercerita mengenai ide-ide apa saja yang akan kami tuangkan jika nanti ada
pertunjukan, selebihnya hanya bersenda gurau. Dua jam kemudian forum ditutup.
Dan ini menjadi kesempatanku untuk menyelesaikan masalah dengan Juna, aku
mengajaknya untuk pergi kekantin, agar aku lebih leluasa bicara padanya. Dan
aku juga tidak harus kuatir jika bertemu Rina, karena memang hari ini tidak ada
kelas baginya, otomatis dia tidak hadir di kampus.
Kebetulan
kantin sudah cukup sepi, mungkin karena hari sudah sore. Aku memesan dua gelas
capucino untukku dan Juna. Pembicaraanpun aku mulai.
“Kamu
kemana aja sih? Dua hari loh kamu gak ada kabar. Gak kayak biasanya.” Tanyaku.
“Aku
cuma ngerasa kalo hubungan kita mestinya memang harus disudahi.” Jawab Juna
tanpa memandangku. Dan saat itu petir serasa bergelegar dihatiku.
“Kenapa
tiba-tiba bilang gitu, Jun?”
“Aku
sadar aku udah nyakitin Rina selama aku sama kamu. Aku terus ngebohongin dia.
Lama-lama aku gak tega.”
“Jun,
kamu yang awalnya deketin aku, sampe aku udah bener-bener jatuh kepelukan kamu.
Terus sekarang kamu dengan gamapangnya bilang kalo kamu udah sadar akan
kesalahan kamu sama Rina. Terus mau nyudahin hubungan kita yang udah terlanjur
basah ini?? Gimana aku, Jun?? Mana janji-janji kamu yang nyuruh aku terus
sabar?? Gila kamu, Jun!” paparku panjang dengan sedikit emosi.
“Aku
tau, Ay. Tapi sekarang aku sadar kalo kemarin itu kita sama-sama khilaf. Dan
aku gak pernah janjiin kamu apa-apa, Ay. Dari awal aku hanya sekedar nyuruh
kamu untuk sabar nunggu aku udahan sama Rina, aku gak bilang kan aku beneran
bakal udahan sama Rina demi kamu? Dan sampe detik ini aku belum yakin bisa
menerima kamu sebagaimana kamu yang saat ini.” Jelas Juna padaku. Ia benar,
memang ia tidak pernah menjanjikan padaku untuk menyudahi hubungannya dengan
Rina dan lalu memilih aku. Tapi aku belum bisa terima.
“Terus
apa gunanya aku sabar selama hampir tiga bulan ini?? Apa Jun??? Katanya kamu
sudah jenuh dengan hubunganmu bersama Rina, makanya kamu hadir dihidup aku.
Terus ketika semuanya sudah setengah jalan kamu malah mau berhenti dan berbalik
arah jalan lagi gitu, Jun? Ninggalin aku sendiri yang meneruskan jalan ini.
Gitu?”
“Aku
gak bohong sama kamu, Ay. Aku bener-bener jenuh saat itu sama Rina. Dan rasa
jenuh itu yang akhirnya membuat aku khilaf.”
“Khilaf??
Dua bulan lebih kamu bilang khilaf??” Ucapku penuh emosi, hampir-hampir aku
menitikkan air mata.
“Maaf,
Ay. Aku tau aku salah. Tapi aku bakal lebih salah lagi kalo aku nerusin ini
semua. Kamu saja yang baru hitungan bulan sudah merasa begitu sakit begitu aku
tinggalkan. Bagaimana Rina nantinya, Ay?”
Aku
menelan ludah, aku benar-benar marah. Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya.
“Jadi
kamu lebih milih aku yang sakit hati di banding Rina yang sakit hati??”
“Bukan
kayak gitu juga, Ay. Kamu harus ngerti. Aku udah lama banget sama dia. Gak
segampang itu.” Kata-katanya terhenti, ia hanya melanjutkannya dengan gelangan
kepala pertanda bahwa ia juga tidak habis pikir dengan keputusannya. Terlebih
aku, aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang baru saja aku dengar.
“Gila
kamu, Jun!” Ucapku kehabisan kata menggambarkan betapa kecewanya aku. Akupun
segera bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan Juna. Ia pun hanya tertunduk
lemas, memandangku pun ia tak sanggup.
***
Hatiku
sakit, kenyataan begitu pahit. Kenapa aku bisa sebodoh ini?? Aku tenggelam pada masalah cinta yang
harusnya sejak awal bisa aku hindari. Aku bodoh. Sangat bodoh. Hari ini hatiku
benar-benar kacau. Dan itu sangat berpengaruh pada sistem kerja otakku. Aku
menjadi lebih emosi, emosi yang aku keluarkan hanya berupa butiran-butiran air
mata. Aku kalut. Aku terus berpikir dalam emosi, namun semua pikiran-pikiranku
tak pernah jernih. Dalam keadaan seperti ini sulit bagiku untuk berpikir
positif. Perasaanku pada Juna sudah terlalu dalam. Kini ia meninggalkanku
dengan alasan yang belum bisa kuterima, dan aku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku
menyulut batang rokokku dengan penuh amarah, menghisapnya begitu dalam. Begitu
dalam seperti kesedihanku. Tapi ini tidak cukup, aku ingin minum Vodca-ku.
Ah,untung saja masih sisa seperempat botol. Aku langsung menenggaknya tanpa
kutuang dulu kedalam gelas. Seperti biasa, satu tegukan cukup untuk menamparku,
membangunkanku dari mimpi, menyadarkannku.
Aku
sudah bisa mengontrol emosiku, pelan-pelan kegelisahan yang dibalut kesedihan
mulai memudar. Kuteguk lagi dan lagi hingga botol benar-benar kosong. Nuraniku
mulai bicara pada diriku, “Sadar, Ay.. Lo udah dipermukaan. Lo udah selamat
dari tenggelam.”
Segala
emosi sudah ku hanyutkan, tapi kini masih tersisa perih. Tak apalah, keperihan
dan kesakitan bisa diminimalisir, bisa dicari obatnya. Jam sudah menunjukan
pukul sepuluh malam. Aku butuh sebotol Vodca lagi. Aku mengirim pesan singkat
pada temanku untuk membawakan sebotol Vodca untukku, aku enggan beranjak dari
kamarku. Sembari menunggu pesanan datang, aku melinting lagi sebatang ganja
untukku hisap. Sekitar lima belas menit kemudian temanku Abiet datang membawa
Vodca. Dia sudah terbiasa dengan pesanan dadakan seperti ini, dan dengan setia
ia selalu datang membawa pesanan tepat waktu. Aku menyuruhnya masuk,membayar
Vodca itu dengan selembar uang seratus ribu rupiah.
“Itu
sama utang gue yang sebotol lagi minggu lalu ya, Bit.”
“Haha..
Oke. Wah, lagi ngebakar nih.. masih ada, Ay?” Tanya Abiet seraya menerima uang
dariku. Ah, dia pasti ingin ikut nimbrung menikmati ganjaku. Aku enggan
ditemani siapapun malam ini.
“Ada
bit, nih sedikit lagi. Bawa pulang aja ya, gue lagi pengen sendiri. Gak apa-apa
kan?” Jawabku sembari menyerahkan sisa ganjaku yang masih dalam bungkusan.
“Wah,
gak apa-apa dong. Yang penting gue dapet gratis. Hehe. Yaudah gue balik ye..
thanks banget nih buat amunisinya.”
“Sip,
thanks juga titipannya.”
Aku
menutup pintu kamarku begitu Abiet pamit pulang. Aku segera menikmati Vodca ku.
Lagi-lagi tanpa aku racik. Ah, tak apalah. Yang aku butuh saat ini adalah
efeknya, bukan rasanya. Tapi beginipun rasanya juga nikmat. Setengah botol
sudah habis kuteguk. Kini aku berasa sedikit pusing, tapi pusing yang ini jauh
lebih nikmat dibanding pusing sebelum meneguk alkohol 40% ini. Pusing kali ini
terasa ringan, tidak berat seperti sebelumnya. Otakku bekerja, aku sekarang
sadar bahwa ini memang hal yang patut aku terima, bukankah sejak awal aku siap
menerima resiko ini? Haha. Aku tertawa menyadari betapa tololnya aku saat
menangis tadi. Benar-benar tolol. Sampai aku terlelap pun aku terus menyatakan bahwa aku begitu tolol.
***
Hari
ini sudah tepat seminggu sejak aku dan Juna tidak lagi berhubungan. Dan aku
sudah mulai bisa menerimanya dengan segala kesadaran diri. Memang sakit hatiku
belum kunjung sembuh total, tapi aku merasa sudah cukup pulih. Tak ada alasanku
untuk terus membenci Juna, lagi pula kami adalah teman satu forum, tak mungkin
kami tidak saling bertegur sapa karena terbentur masalah personal. Hari-hari
kembali sepeti biasa dimana pada awalnya aku hanya berteman dengan Juna. Kami
masih sering berbincang-bincang menegenai forum, sesekali kami masih menyelikan
guyonan-guyonan agar suasana tidak terlalu kaku. Dan aku mulai terbiasa melihat
kebersamaan Juna dengan Rina didepan mataku, walau tak aku pungkiri aku
terkadang merasa sedikit cemburu. Tapi ya sudahlah, ini jalan yang harus aku
lalui. Jalan yang sudah terlanjur kubentuk dalam kehidupanku.
Aku
duduk didepan komputerku siang ini, hari ini tak ada kelas, jadi aku bisa
seharian di kamar kost-ku untuk menulis beberapa artikel atau sajak seperti
biasanya. Menuangkan pikiran lewat kata adalah salah satu kegemaranku. Itulah
alasannya aku memilih kuliah jurusan Jurnalistik yang sedikit banyak ada
keterkaitannya dengan menulis. Dan mengikuti forum UKM teater juga menjadi
pilihanku agar cara berpikirku semakin luas.
Saat
sedang asik menikmati bebasnya berpikir, aku dikagetkan oleh suara ketukan
pintu kamarku. Ketika kubuka pintu itu, aku mendapati sesesok wanita yang
sebaya denganku berdiri seoarng diri. Wanita itu adalah Rina. Aku sedikit
terkejutdengan kehadirannya, tidak seperti biasa ia mengunjungi kostan tempatku
tinggal.
“Hai,
Ay.. ganggu gak?” Sapa Rina lembut seperti biasanya. Rina yang selama ini aku
kenal adalah pribadi yang ramah, lembut dan bersahaja. Wajahnya sangat manis,
cara berdandannya pun begitu sedap dipandang, sederhana dan feminim. Pantaslah
kalau Juna sulit untuk meninggalkannya.
“Hai
juga, Rin. Nggak kok, gak ganggu. Ada perlu apa Rin? Masuk dulu deh jangan
didepan pintu. Gak enak. Hehe.” Jawabku seramah mungkin. Rina pun melangkahkan
kakinya masuk kedalam kamar kostku. Aku mempersilahkannya duduk diatas kasur,
mengambilkannya segelas air putih.
“Makasih,
Ay. Maaf ya dateng tiba-tiba. Aku emang sengaja dateng kesini untuk ketemu
kamu. Aku mau berdiskusi mengenai artikel sosial yang berkaitan dengan doktrin
sama kamu. Itu loh, tugas mata kuliahnya Pak Gino. Kamu kan masternya kalau
sudah bicara soal doktrin. Siapapun tau itu. Hehe.” Papar Rina menjelaskan
maksud tujuannya bertemu denganku. Dan itu membuatku sedikit lega, aku kira kunjungannya
ini ingin bicara padaku soal Juna. Ternyata perkiraanku salah, sepertinya Rina
tidak pernah mengetahui mengenai hubunganku dengan Juna yang dulu aku
sembunyikan.
“Wah,
bisa aja kamu, Rin. Aku kan bukan aktifis. Tapi okelah kalo kamu memang ingin
berbincang denganku soal ini. Kita mulai dari mana percakan kita?” Sambutku terbuka.
“Hmm..
dari mana ya? Memang apa sih latar belakang kamu menulis artikel-artikel macam
itu? Berita sosial politik?”
“Banyak,
Rin. Dari berita sampai yang aku lihat sendiri dikenyataan. Kita kan negara
demokrasi. Apapun yang berkaitan tentang pemerintahan selalu dibuka gamblang,
walau kebohongan-kebohongan tutur kata selalu terselip dari para pejabat
negara. Ya, aku hanya meneliti, mengamati dan mencoba merasakan semua itu. Dan
hasilnya aku tuang lewat artikel atau sajak kenegaraan sekalipun.”
“Nah,
itu dia, Ay. Aku kurang tertarik kalau bicara soal negara. Aku enggan
memikirkan segala sesuatu yang berurusan soal politik. Apalagi dinegara kita
ini, sudah terlanjur kotor dan tidak peka.” Ucap Rina berargumen, dan aku suka
akan argumennya itu. Ia benar, politik di negara kami sudah terlanjur kotor dan
tidak peka. Tapi sekali lagi, ini adalah negara demokrasi, aku berhak
menunjukan segala amarahku akan sistem yang gagal ini.
“Memang
sih, tapi mau tidak mau kamu harus ikut tenggelam merasakan itu semua. Gini aja
deh, kamu liat aja yah beberapa artikelku tentang politik, sajak-sajaknya juga
ada. Ya emang jauh dari kata bagus sih, tapi mungkin bisa buat referensi.
Hehe.” Kataku memberi masukkan sembari melangkah kedepan komputerku untuk
membuka folder yang berisi beberapa artikel yang akan aku tunjukan pada Rina.
Rina pun terbangun dari duduknya dan menghampiriku, ia berdiri disamping kiriku
dengan sedikit menundukan badannya agar pandangannya sejajar dengan layar
komputerku.
“Wah,
lumayan banyak ya, Ay. Boleh aku baca semua?”
“Ya
boleh dong Ay. Kan emang aku yang nyaranin. Yaudah, kamu duduk deh sambil
baca-baca. Aku mau mandi dulu, gak apa-apa kan? Udah hampir sore, aku belum
mandi dari pagi. Hehe.”
“Haha.
Jorok kamu. Yaudah gak apa-apa kok. Mandi aja.”
Aku
melangkah menuju kamar mandiku, aku ingin bebersih diri. Rina kubiarkan duduk
didepan komputerku sembari membaca beberapa artikelku. Tetapi baru saja aku
melepas pakaianku, Rina berteriak dari depan pintu kamar mandiku.
“Ay,
artikel kamu panjang-panjang banget. Aku copy ke flesdiskku aja ya. Nanti aku
baca dirumah. Boleh kan?” Ucapnya lantang. Aku pun menjawabnya dengan lantang
agar ia mendengar jawabankku dari dalam kamar mandi.
“Iya,
Rin.. gak apa-apa. Copy aja.”
“Oke,
Thanks, Ay..”
Aku
melanjutkan diri untuk bebersih. Setiap air yang jatuh ditubuhku terasa begitu
segar. Aku ingin sedikit lebih lama lagi menikmati kesegaran ini. Kira-kira
lima belas menit kemudian aku telah selesai mandi, pakaian ganti pun sudah aku
kenakan. Aku membuka pintu kamar mandiku, dan aku tidak mendapati Rina berada
dikursi duduknya semula. Pintu kamarku pun terbuka lebar. Aku melangkah kedepan
layar komputerku yang masih menyala.Dan aku mendapati folder yang berisi
koleksi foto-foto pribadiku terbuka, dan diantara semua foto itu, cukup banyak
foto-foto mesraku dengan Juna. Daya pikirku segera bekerja cepat. Rina pasti
telah melihat ini semua. Dan sekarang ia pasti pergi menemui Juna untuk meminta
penjelasan akan bukti-bukti ini. Ah, kenapa foto-foto ini belum aku hapus??
Kenapa harus terjadi sedemikian rupa??. Aku harus menjelaskannya pada Rina. Aku
tak mau Juna dan Rina bertengkar karena kesalahanku. Aku bergegas pergi ke
kostan Juna, pasti mereka tengah bertengkar hebat. Aku mau menjelaskanpada Rina
semuanya. Ya, semuanya.
Aku
membuka pintu kamar kost Juna tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dan disitu aku
mendapati Juna sedang terduduk di depan layar komputernya seorang diri. Ya,
seorang diri. Rina tidak berada disana. Wajah Juna sedikit kaget melihatku yang
datang tiba-tiba dengan nafas yang tersengal. Aku menghampirinya, mengatur
nafasku dan mulai bicara dengan terus berusaha agar tetap tenang.
“Jun..
Rina tadi ke kostan aku. Dan tanpa aku tau dia membuka-buka folder yang isinya
beberapa foto-foto mesra kita. Sumpah aku gak tau, aku gak sengaja, Jun.”
“Kamu
tenang deh, jangan panik gitu ngomongnya. Jelasin ke aku pelan-pelan.” Juna
mencoba menenangkanku yang memang sangat panik. Aku menarik napas dan
meneruskan penjelasanku.
“Iya,
pas aku keluar dari kamar mandi tiba-tiba Rina udah gak ada dikamarku, Jun. Dan
aku ngeliat layar komputerku. File-file foto kita terbuka, Jun. Pasti dia
ngeliat. Aku harus jelasin sama dia. Itu hanya masa lalu kita berdua, Jun.”
Paparku sedikit lebih tenang.
“Udah
kamu jangan mikir yang macem-macem dulu, Ay. Kamu harus tenang, nanti kita
jelasin berdua sama Rina. Semua bisa dibicarakan baik-baik.” Kata Juna
menenangkan, walau aku sendiri melihat sedikit kegelisahan di raut wajahnya.
“Tapi
aku gak enak sama Rina, Jun. Aku merasa bersalah, aku mau minta maaf.”
Juna
menghampiriku, memelukku dengan hangat agar aku lebih tenang. Dan caranya itu
selalu berhasil membuat diriku lebih terkontrol. Aku melepaskan pelukan itu dan
memandangnya penuh rasa bersalah. Juna hanya mengusap lembut bahuku. Kami
berdua saling diam dalam pikiran masing-masing, kami saling menyandarkan tubuh
kami satu sama lain. Namun tiba-tiba suara tembakan senapan memecah keheningan
diantara kami berdua. Suara ledakan senapan itu begitu menggelegar ditelingaku.
Aku terkejut bukan main manakala menyadari bahwa Juna telah terjatuh karena
peluru dari senapan itu sudah menembus bagian dadanya. Aku melihat ke arah
pintu kamar Juna, Rina berdiri didekatnya sembari memegang senapan itu dengan
gemetar. Ia terlihat sangat marah, matanya menatapku dengan penuh kebencian.
Aku melirik kearah Juna yang sudah terkapar tak berdaya. Aku gemetar.
“Rin,
aku bisa jelasin semuanya. Ini enggak seperti yang kamu lihat. Tolong jatuhkan
senapanmu. Aku mohon. Jangan gegabah.” Aku memohon dengan sangat pada Rina, aku
berucap terbata-bata. Aku shock.
Rina
hanya mengeleng-gelang sembari menahan segala rasa kekecewaan, air mata
terjatuh dari pelupuknya. Tapi ia tetap mengarahkan senapannya itu kearahku.
Aku semakin takut ketika aku melihat jarinya akan menarik pelatuk dari senapan
itu. Tubuhku kaku. Dan tiba-tiba suara tembakan terdengar untuk yang kedua
kalinya. Aku terjatuh. Aku merasa ada sesuatu yang menembus perutku. Rasanya
luar biasa sakit, peluru itu menembus perutku, mungkin bersarang kelambungku.
Aku pucat pasi. Rina menjatuhkan senapannya. Dan pergi meninggalkan aku dan
Juna yang sudah tak berdaya. Tanganku terus menetupi lubang peluru diperutku.
Aku melihat Juna yang berada disamping kiriku. Matanya sudah tertutup rapat. Aku
tak melihatnya bernapas. Aku terpukul. Aku mencium bibirnya. Aku berusaha
mengambil ponselku dari saku celana. Kutekan nomor telepon kantor polisi.
Dengan terbata-bata aku memberi tau bahwa ada korban tembakan dialamat yang aku
sebutkan. Aku menjatuhkan ponselku dan berusaha untuk berdiri. Aku ingin
mencari Rina, aku masih ingin menjelaskan semuanya pada Rina.
Aku
terus berjalan dengan susah payah. Napasku sungguh terasa berat. Aku terus
menerus menutupi luka tembakku dengan telapak tangan. Darahnya sudah mulai
banyak keluar. Semua orang yang ada disekitarku melihat dengan wajah
bertanya-tanya. Aku tidak peduli. Aku terus berjalan dan berjalan. Kakiku mulai
terasa sangat berat, udara yang dingin merasuk keseluruh tubuhku. Aku
menjatuhkan diriku ke tanah. Mencoba mengatur napas. Namun semakin lama
pandanganku semakin berkunang-kunang. Lalu tiba-tiba gelap. Ya, sangat gelap.
Dan muncul sosok Juna dalam kegelapanku itu, menghampiriku, dan mengucapkan
kata maaf, lalu hilang begitu saja. Kegelapan menghantuiku lagi setelah
bayangan Juna menghilang.
***
Mataku
mulai terbuka sedikit demi sedikit. Aku memperhatikan seluruh ruangan dimana
aku terbaring. Aku tak tau ini dimana. Aku seperti terbangun dari mimpi.
Terbangun dari tidur panjang. Aku berusaha untuk bangkit dari tidurku. Namun
aku tak kuat untuk bangun, sekitar perutku begitu terasa perih. Dan suara
seseorang laki-laki paruh baya yang datang dari luar ruangan menyadarkanku.
“Jangan
terlalu banyak bergerak. Luka tembakmu belum pulih.”
Aku
memejamkan lagi mataku, kali ini aku merasa air mata mengalir melewati pipiku.
Jakarta, 9 Februari 2012