Aku merasa usiaku
sudah tidak cocok lagi untuk bicara soal cita-cita. Dua puluh satu tahun aku
hidup menjalani waktu yang juga berlari. Saling berkejar-kejaran, terkadang aku
berada didepan dan terkadang tertinggal jauh dibelakang. Lelah memang sering kali
tampak dari fisikku yang cukup kuat ini. Tapi aku mencoba selalu menghapus
segala keluh kesah karena lelah itu sendiri, aku tak mau orang lain tahu.
Bahkan aku sendiri harus menapik bahwa aku hampir jatuh kelelahan.
Selama dua puluh satu
tahun aku hidup, dan belakangan ini aku merasa sedikit menyesal karena aku
terlambat mempersiapkan amunisi perang yang sekarang sudah didepan mata. Kini
aku seperti dikebiri. Mau tidak mau hari esok pasti akan datang. Dan aku harus
siap menghadapinya dengan perbekalan minim yang aku punya. Aku hanya berharap
akan tiba bantuan untukku, atau datang keajaiban yang membuatku selalu tak
pernah lelah sampai akhirnya aku menang. Menang yang bukan ending, tapi menang yang menjadi awal dimana aku akan menghadapi
perang yang lebih mengerikan lagi nantinya. Perang yang benar-benar menjadi
tujuan jihadku.
Target-target sudah
banyak tersusun diotakku yang mulai penuh. Jutaan sel otak lainnya menyimpan
tanya, “apakah aku bisa mencapai ini semua?”. Aku ragu tapi tidak mungkin
berhenti. Aku harus melewati ini semua. Ya, semua.
Sehingga riwayat
hidupku pada tahun 2019 nanti benar-benar tertulis seperti apa yang aku
pikirkan saat ini, yaitu :
Ita Juwita, lahir
pada tanggal 11 Januari 1991 di Jakarta. Semasa kecilnya tidak ada yang
menonjol dari perempuan keturunan Tanah Sunda ini. Seperti kebanyakan anak-anak
pada umumnya, keseharian seorang Ita dihabiskan dengan bermain. Namun berbeda
dengan anak perempuan kebanyakan, ia lebih sering menghabiskan waktu bersama
teman-teman yang berlawanan jenis untuk bermain sepak bola, gundu atau
perang-perangan. Kebiasaannya ini terus berlanjut hingga kuliah. Tentunya
kebiasaan menghabiskan waktu dengan teman-teman yang berlawanan jenis, bukan
kebiasaan bermain bola, gundu atau perang-perangan.
Setelah setahun mengikuti program S1 jurnalistik di IISIP, ia kembali mengambil keputusan untuk
memperdalam minat lain yang ada dalam dirinya dengan jalan menempuh pendidikan
seni di IKJ jurusan seni lukis.
Saat usianya
menempati angka dua puluh enam tahun ia resmi menyabet gelar Sarjana S1 di dua
universitas sekaligus. Lulus dari IISIP dengan IPK 3,5 dan IKJ dengan IPK 3,3
merupakan awal baru karirnya dibidang seni dan jurnalis. Setelah lebih dari
empat tahun menjadi wartawan harian Kompas, kini ia beralih menjadi penulis
redaksi di salah satu stasiun TV swasta ternama di Indonesia. Beberapa novel pun
pernah ia terbitkan sejauh ini, yaitu, “bla bla bla” dan “ada lagi” (belum kebayang judulnya). Selain itu
keahliannya dalam melukis pun kian berkembang, sebuah pameran tunggal miliknya
pada bulan Januari 2017 lalu merupakan awal dimana ia diakui sebagai pelukis
propesional yang cukup diperhitungkan keberadaannya. Pernikahannya dengan
seorang musisi pada Februari 2018 lalu tidak menghentikan langkahnya untuk
terus menghasilkan karya-karya terbaik. Hingga sampai saat ini ia terus
melahirkan buah-buah pemikirannya dibidang jurnalis dan seni lukis.
Waw, wonderfull
dream! Yah, apalagi yang bisa dilakukan seorang pencundang seperti aku ini
selain bermimpi? Begitu banyak pihak yang mentertawai mimpi-mimpiku itu. Sakit
selalu terselip dihatiku yang sempit, tapi aku tidak peduli. Aku ingin terus
bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpi itu. Aku tidak akan pernah tutup
telinga atas apa yang aku dengar. Tertawaan, makian, cacian, semua akan aku
dengar dengan baik. Dan akan aku jadikan sebuah motivator berupa cambukan
keras. Walaupun banyak orang yang menterwakan cita-citaku, tapi aku selalu
merasa lebih beruntung dari mereka-mereka yang mentertawakan. Setidaknya, karena aku lebih BERANI UNTUK
BERMIMPI begitu tinggi dibanding mereka-mereka itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar