Selasa, 17 April 2012

Wonderfull Dream


Aku merasa usiaku sudah tidak cocok lagi untuk bicara soal cita-cita. Dua puluh satu tahun aku hidup menjalani waktu yang juga berlari. Saling berkejar-kejaran, terkadang aku berada didepan dan terkadang tertinggal jauh dibelakang. Lelah memang sering kali tampak dari fisikku yang cukup kuat ini. Tapi aku mencoba selalu menghapus segala keluh kesah karena lelah itu sendiri, aku tak mau orang lain tahu. Bahkan aku sendiri harus menapik bahwa aku hampir jatuh kelelahan.
Selama dua puluh satu tahun aku hidup, dan belakangan ini aku merasa sedikit menyesal karena aku terlambat mempersiapkan amunisi perang yang sekarang sudah didepan mata. Kini aku seperti dikebiri. Mau tidak mau hari esok pasti akan datang. Dan aku harus siap menghadapinya dengan perbekalan minim yang aku punya. Aku hanya berharap akan tiba bantuan untukku, atau datang keajaiban yang membuatku selalu tak pernah lelah sampai akhirnya aku menang. Menang yang bukan ending, tapi menang yang menjadi awal dimana aku akan menghadapi perang yang lebih mengerikan lagi nantinya. Perang yang benar-benar menjadi tujuan jihadku.
Target-target sudah banyak tersusun diotakku yang mulai penuh. Jutaan sel otak lainnya menyimpan tanya, “apakah aku bisa mencapai ini semua?”. Aku ragu tapi tidak mungkin berhenti. Aku harus melewati ini semua. Ya, semua.
Sehingga riwayat hidupku pada tahun 2019 nanti benar-benar tertulis seperti apa yang aku pikirkan saat ini, yaitu :

Ita Juwita, lahir pada tanggal 11 Januari 1991 di Jakarta. Semasa kecilnya tidak ada yang menonjol dari perempuan keturunan Tanah Sunda ini. Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, keseharian seorang Ita dihabiskan dengan bermain. Namun berbeda dengan anak perempuan kebanyakan, ia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman yang berlawanan jenis untuk bermain sepak bola, gundu atau perang-perangan. Kebiasaannya ini terus berlanjut hingga kuliah. Tentunya kebiasaan menghabiskan waktu dengan teman-teman yang berlawanan jenis, bukan kebiasaan bermain bola, gundu atau perang-perangan.
Setelah setahun mengikuti program S1 jurnalistik di IISIP, ia kembali mengambil keputusan untuk memperdalam minat lain yang ada dalam dirinya dengan jalan menempuh pendidikan seni di IKJ jurusan seni lukis.
Saat usianya menempati angka dua puluh enam tahun ia resmi menyabet gelar Sarjana S1 di dua universitas sekaligus. Lulus dari IISIP dengan IPK 3,5 dan IKJ dengan IPK 3,3 merupakan awal baru karirnya dibidang seni dan jurnalis. Setelah lebih dari empat tahun menjadi wartawan harian Kompas, kini ia beralih menjadi penulis redaksi di salah satu stasiun TV swasta ternama di Indonesia. Beberapa novel pun pernah ia terbitkan sejauh ini, yaitu, “bla bla bla” dan “ada lagi” (belum kebayang judulnya). Selain itu keahliannya dalam melukis pun kian berkembang, sebuah pameran tunggal miliknya pada bulan Januari 2017 lalu merupakan awal dimana ia diakui sebagai pelukis propesional yang cukup diperhitungkan keberadaannya. Pernikahannya dengan seorang musisi pada Februari 2018 lalu tidak menghentikan langkahnya untuk terus menghasilkan karya-karya terbaik. Hingga sampai saat ini ia terus melahirkan buah-buah pemikirannya dibidang jurnalis dan seni lukis.

Waw, wonderfull dream! Yah, apalagi yang bisa dilakukan seorang pencundang seperti aku ini selain bermimpi? Begitu banyak pihak yang mentertawai mimpi-mimpiku itu. Sakit selalu terselip dihatiku yang sempit, tapi aku tidak peduli. Aku ingin terus bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpi itu. Aku tidak akan pernah tutup telinga atas apa yang aku dengar. Tertawaan, makian, cacian, semua akan aku dengar dengan baik. Dan akan aku jadikan sebuah motivator berupa cambukan keras. Walaupun banyak orang yang menterwakan cita-citaku, tapi aku selalu merasa lebih beruntung dari mereka-mereka yang mentertawakan.  Setidaknya, karena aku lebih BERANI UNTUK BERMIMPI begitu tinggi dibanding mereka-mereka itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar