Aku menganga
mendengar semua penjelasan-penjelasan cerdas dari pria paruh paruh baya ini.
Enang namanya, beliau adalah guru hidup terhebat untukku. Lebih tepatnya salah
satu guru terhebat yang pernah aku punya. Pendidikan formal yang ditempuhnya
tidaklah tinggi, hanya lulusan SMA. Tapi jangan pernah meremehkan wawasan yang
beliau miliki, kawan. Jangan pernah.
Seperti perbincangan-perbincangan
sebelumnya, malam ini pun beliau lagi-lagi telah membawaku hanyut kedalamcara
pandang yang luar biasa. Bak seorang Ulama beliau memaparkan beberapa tafsir
ayat dari Al-Quran.
“Dulu, pada jaman
Nabi Daud, luas bidang dada kaum-kaum pada saat itu kira-kira mencapai 30
meter. Manusia pada saat itu tidaklah seukuran seperti kita-kita ini. Mereka
raksasa. Bahkan saat mereka hendak mencicipi buah kurma mereka tidak harus
memanjat pohon kurma itu, tapi mereka memetik pohon kurma itu seperti kita
memetik pohon toge pada saat ini. Dicabut dengan mudah sampai akarnya!”Paparnya
padaku dengan penuh keyakinan dan ketegasan yang luar biasa. Aku terdiam
mendengan kisahnya, bertanya-tanya apakah itu sebuah kebenaran atau hanya
dongeng semata. Alisku mengkerut.
“Lalu kenapa saat ini
ukuran manusia menjadi kecil seperti kita? Dan dari mana Mamang tau kalau
ukuran manusia pada jaman Nabi Daud sebesar itu?”
“Itulah kehendak
Allah, dan tentunya Mamang tau dari tafsir Al-Quran. Ingat, tafsir. Bukan
terjemahannya. Karena tafsir dan terjemahan itu berbeda. Al-Quran itu adalah
kitab dengan bahasa sastra yang sangat tinggi. Tidak semua orang dapat
menafsirkanya dengan mudah. Mamang pun demikian, butuh seseorang ahli untuk
menjelaskan tafsir Al-Quran pada Mamang.” Dengan cerdas mamang memaparkan lagi
beberapa Ayat Al-Quran padaku dengan bahasa arab beserta artinya, lalu
dilanjutkan dengan penafsiran dari ayat tersebut. Aku terkesima. Begitu lancar
beliau melafalkan apa yang di ucapkannya.“Dulu saat Nabi Adam diturunkan
dibumi, jejak kaki Beliau seluas kota Yerusallem. Besar, sangat besar. Bahkan
Nabi akhir jaman Muhammad SAW pun ukuran tubuhnya masih diatas rata-rata
manusia pada saat ini. Telapak kakinya saja kira-kira sepanjang 50 centimeter
lebih.! Bisa dibayangkan kan seberapa besar tubuh Beliau?” aku ternganga untuk
yang kesekian kalinya.
Pembicaraan kami
semakin lama semakin panjang. Satu jam kemudian, dua jam kemudian, tiga jam
kemudian, bahkan empat jam kemudian kami masih duduk berhadapan dan saling
berbincang mengenai ini itu. Baik itu yang besifat kehidupan atau keagamaan.
Ya, hidup memang tak pernah lepas dari agama. Tak pernah lepas dari sebuah
kepercayaan atau keyakinan. Tapi dari banyaknya pembicaraan yang kami
perbincangkan, ada satu hal yang paling aku ingat. Yaitu mengenai Shalat wajib
lima waktu.
“Ibarat nilai mata
uang, shalat wajib lima waktu adalah angka awal yang tertera pada uang
tersebut.Seperti uang kertas lembaran lima puluh ribu rupiah, disana tertera
angka 50.000. Ada empat angka ‘nol’ setelah angka ‘lima’ yang merupakan angka
awalnya. Uang itu bernilai karena angka-angka ‘nol’ itu diawali oleh satu angka
‘lima’. Bayangkan jika angka lima itu di tiadakan dan hanya tersisa empat angka
‘nol’. Nilai mata uang itupun menjadi tidak ada. Sebanyak apapun angka ‘nol’
yang tertera disana menjadi tidak berarti ketika angka ‘lima’ itu ditiadakan.
Ya, shalat wajib lima waktupun demikian. Seperti angka ‘lima’ tersebut. Dan
angka ‘nol’ yang mengikuti angka ‘lima’ itu adalah kewajiban-kewajiban lainnya
seperti puasa, berbuat baik dan lain-lain. Angka-angka ‘nol’ ini menjadi tidak
berarti tanpa angka ‘lima’ yang mengawalinya. Dan menunaikan kewajiban lain
seperti berpuasa, berbuat baik dan lain-lainnya menjadi tidak berarti jika kita
meniadakan shalat wajib lima waktu. Kewajiban yang satu ini harus benar-benar
dijaga, baik itu wudhunya, khusuknya dan waktu menunaikannya. Ibarat tubuh,
shalat wajib lima waktu itu kepalanya. Bayangkan bagaimana tubuh tidak memiliki
kepala? Tidak akan hidup! Tapi kalau hanya tangan atau kaki yang tidak kita
punya kita masih bisa hidup. Hanya saja kita cacat. Tidak sempurna!.” Rasanya
seperti ditampar mendengar penjelasan itu, mengingat belakangan ini aku begitu
sering meninggalkan kewajiaban shalat lima waktu. Aku gemetar. Gemetar karena
takut. Sungguhtakut. Aku takut hidupku tidak bernilai.
Ya Allah, bolehkah
aku meminta untuk Kau memutar waktu mudur kebelakang? Aku ingin hari-hari
kemarin saat aku meninggalkan kewajibanku dapat terulang. Dan aku dapat
memperbaikinya dengan tidak meninggalkan shalatku lagi.
Kawan, inilah efek
samping nomor tujuh saat kau berbincang-bincang dengan orang cerdas, yaitu
seringkali hadir sebuah ‘penyesalan’ setelah perbincangan itu berakhir. Bukan
penyesalan karena telah meluangkan waktu untuk berbincang dengannya, tapi
menesal karena menyadari bahwa aku ini ‘BO-DOH’.
Jakarta, 5 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar