Senin, 16 April 2012

Efek Samping Nomor Tujuh


Aku menganga mendengar semua penjelasan-penjelasan cerdas dari pria paruh paruh baya ini. Enang namanya, beliau adalah guru hidup terhebat untukku. Lebih tepatnya salah satu guru terhebat yang pernah aku punya. Pendidikan formal yang ditempuhnya tidaklah tinggi, hanya lulusan SMA. Tapi jangan pernah meremehkan wawasan yang beliau miliki, kawan. Jangan pernah.
Seperti perbincangan-perbincangan sebelumnya, malam ini pun beliau lagi-lagi telah membawaku hanyut kedalamcara pandang yang luar biasa. Bak seorang Ulama beliau memaparkan beberapa tafsir ayat dari Al-Quran.
“Dulu, pada jaman Nabi Daud, luas bidang dada kaum-kaum pada saat itu kira-kira mencapai 30 meter. Manusia pada saat itu tidaklah seukuran seperti kita-kita ini. Mereka raksasa. Bahkan saat mereka hendak mencicipi buah kurma mereka tidak harus memanjat pohon kurma itu, tapi mereka memetik pohon kurma itu seperti kita memetik pohon toge pada saat ini. Dicabut dengan mudah sampai akarnya!”Paparnya padaku dengan penuh keyakinan dan ketegasan yang luar biasa. Aku terdiam mendengan kisahnya, bertanya-tanya apakah itu sebuah kebenaran atau hanya dongeng semata. Alisku mengkerut.
“Lalu kenapa saat ini ukuran manusia menjadi kecil seperti kita? Dan dari mana Mamang tau kalau ukuran manusia pada jaman Nabi Daud sebesar itu?”
“Itulah kehendak Allah, dan tentunya Mamang tau dari tafsir Al-Quran. Ingat, tafsir. Bukan terjemahannya. Karena tafsir dan terjemahan itu berbeda. Al-Quran itu adalah kitab dengan bahasa sastra yang sangat tinggi. Tidak semua orang dapat menafsirkanya dengan mudah. Mamang pun demikian, butuh seseorang ahli untuk menjelaskan tafsir Al-Quran pada Mamang.” Dengan cerdas mamang memaparkan lagi beberapa Ayat Al-Quran padaku dengan bahasa arab beserta artinya, lalu dilanjutkan dengan penafsiran dari ayat tersebut. Aku terkesima. Begitu lancar beliau melafalkan apa yang di ucapkannya.“Dulu saat Nabi Adam diturunkan dibumi, jejak kaki Beliau seluas kota Yerusallem. Besar, sangat besar. Bahkan Nabi akhir jaman Muhammad SAW pun ukuran tubuhnya masih diatas rata-rata manusia pada saat ini. Telapak kakinya saja kira-kira sepanjang 50 centimeter lebih.! Bisa dibayangkan kan seberapa besar tubuh Beliau?” aku ternganga untuk yang kesekian kalinya.
Pembicaraan kami semakin lama semakin panjang. Satu jam kemudian, dua jam kemudian, tiga jam kemudian, bahkan empat jam kemudian kami masih duduk berhadapan dan saling berbincang mengenai ini itu. Baik itu yang besifat kehidupan atau keagamaan. Ya, hidup memang tak pernah lepas dari agama. Tak pernah lepas dari sebuah kepercayaan atau keyakinan. Tapi dari banyaknya pembicaraan yang kami perbincangkan, ada satu hal yang paling aku ingat. Yaitu mengenai Shalat wajib lima waktu.
“Ibarat nilai mata uang, shalat wajib lima waktu adalah angka awal yang tertera pada uang tersebut.Seperti uang kertas lembaran lima puluh ribu rupiah, disana tertera angka 50.000. Ada empat angka ‘nol’ setelah angka ‘lima’ yang merupakan angka awalnya. Uang itu bernilai karena angka-angka ‘nol’ itu diawali oleh satu angka ‘lima’. Bayangkan jika angka lima itu di tiadakan dan hanya tersisa empat angka ‘nol’. Nilai mata uang itupun menjadi tidak ada. Sebanyak apapun angka ‘nol’ yang tertera disana menjadi tidak berarti ketika angka ‘lima’ itu ditiadakan. Ya, shalat wajib lima waktupun demikian. Seperti angka ‘lima’ tersebut. Dan angka ‘nol’ yang mengikuti angka ‘lima’ itu adalah kewajiban-kewajiban lainnya seperti puasa, berbuat baik dan lain-lain. Angka-angka ‘nol’ ini menjadi tidak berarti tanpa angka ‘lima’ yang mengawalinya. Dan menunaikan kewajiban lain seperti berpuasa, berbuat baik dan lain-lainnya menjadi tidak berarti jika kita meniadakan shalat wajib lima waktu. Kewajiban yang satu ini harus benar-benar dijaga, baik itu wudhunya, khusuknya dan waktu menunaikannya. Ibarat tubuh, shalat wajib lima waktu itu kepalanya. Bayangkan bagaimana tubuh tidak memiliki kepala? Tidak akan hidup! Tapi kalau hanya tangan atau kaki yang tidak kita punya kita masih bisa hidup. Hanya saja kita cacat. Tidak sempurna!.” Rasanya seperti ditampar mendengar penjelasan itu, mengingat belakangan ini aku begitu sering meninggalkan kewajiaban shalat lima waktu. Aku gemetar. Gemetar karena takut. Sungguhtakut. Aku takut hidupku tidak bernilai.
Ya Allah, bolehkah aku meminta untuk Kau memutar waktu mudur kebelakang? Aku ingin hari-hari kemarin saat aku meninggalkan kewajibanku dapat terulang. Dan aku dapat memperbaikinya dengan tidak meninggalkan shalatku lagi.
Kawan, inilah efek samping nomor tujuh saat kau berbincang-bincang dengan orang cerdas, yaitu seringkali hadir sebuah ‘penyesalan’ setelah perbincangan itu berakhir. Bukan penyesalan karena telah meluangkan waktu untuk berbincang dengannya, tapi menesal karena menyadari bahwa aku ini ‘BO-DOH’.

Jakarta, 5 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar