Berada di Ibukota sejak kecil terkadang mendorong gue untuk bersyukur atas
jalan yang telah Allah kasih ke gue. Gue bersyukur banget bisa tumbuh besar di
Jakarta dengan segala gemerlap dan kerasnya perjuangan untuk bertahan hidup.
Asik. Haha.
Pergaulan memang menjadi kebutuhan wajib bagi setiap individu untuk menunjang
phisikologis-nya dari sisi sosialisasi. Terlebih buat orang-orang yang sedang
sibuk-sibuknya mencari jati diri, terutama usia remaja. Walau tidak menutup
kemungkinan orang yang sudah paruh baya sekalipun masih saja mencari jati diri.
Memang si ‘jati’ yang satu ini cukup sulit untuk ditemukan keberadaannya.
Gue pun sempat mengalami kesulitan menentukan jati diri. Dimana ketika gue
berada di komunitas A, gue akan bersikap seperti mayoritas orang-orang
dikelompok A itu, dan ketika gue berada di komunitas B, gue akan bertingkah
laku sesuai mayoritas tingkah laku di komunitas B itu sendiri. Begitu
seterusnya. Istilahnya “LABIL”. Ikut sana, ikut sini.
Awalnya gue berpikir itu adalah hal cerdas dalam bergaul. Berarti gue bisa
menempatkan diri sesuai ‘target audiens’.
Ternyata gue salah, itu bukanlah hal cerdas, sikap seperti itu gak lebih
hanyalah fase kelabilan dalam pencarian jati diri gue. Dan untungnya gue udah
berhasil melewati fase itu.
Penempatan diri bisa dibilang cerdas bila sesuai proporsi-nya. Ubah sikap
yang perlu diubah, jangan mengubah yang tidak-tidak. Apalagi sampai mengubah
tabiat bawaan.
Umur gue emang baru 21 tahun saat ini, tapi bukan berarti pengalaman gue
dalam hal bergaul itu minim. Sejak SMP gue udah banyak menempatkan diri dimana
aja tanpa terkecuali, mulai dari gaul sama tukang ojek, guru, atlet, mahasiswa
dan lain sebagainya. Buat gue berdialog dengan orang-orang yang ‘beda’ dengan
gue itu sangat menyenangkan. Ada aja ilmu yang gue dapet.
Ketika kebanyakan remaja perempuan seusia gue pada saat itu sedang
menikmati masa-masa puber, gue malah sibuk nongkrong sana sini. Alhasil, gue
mengalami keterlambatan dalam pubertas. Haha.
Lama-lama gue ngerasa labil banget ketika nongkrong
sana sini, terlalu sering gue pake topeng terus lepas topeng. Pake topeng lagi,
terus lepas topeng lagi. Masing-masing komunitas gue selalu pake topeng yang
berbeda. Cape. Sampe akhirnya gue memutuskan untuk rehat dari kegiatan
‘sosialisasi’ komunitas selama beberapa minggu.
Setelah ngerasa kangen, gue kembali masuk untuk
bergaul. Kali ini berbeda. Gue lebih ‘be
my self’ disetiap kesempatan. Gak mau lagi ikut-ikutan mayoritas. Toh jadi minoritas
gak ada salahnya. Cukup buat gue ikut sana sini. Saatnya ikutin hati sendiri.
Dan.... Tarrrrrraaaaaa..... semua orang lebih suka
ketika gue menjadi diri gue sendiri. Pastinya gue excited, kenapa gak dari dulu sih gue begini? Hehe.
Sampai saat ini gue adalah gue, seorang Ita yang
senang bergaul dan gemar bersiosialisasi. Tapi tetap be my self.
Bukan berarti be
my self-nya seorang Ita tuh bersih
dari hal-hal negatif loh. Ya namanya manusia, ada aja sisi negatifnya dong.
Wajarlah. Tapi sekali lagi, gue gak menyalahkan pergaulan gue kala gue sedang
melakukan hal negatif, itu semua gak lepas dari diri gue sendiri dengan penuh
kesadaran. Hehe.
Tembakau dan alcohol,
just it. Cuma dua hal negatif itu
yang pernah gue jadiin pelarian dikala gue pusing dengan masalah hidup.
Sebenernya enggak bisa dibilang ‘cuma’ juga sih. Berdasarkan alat pengukur
‘kebandelan’ yang gue punya itu udah bisa dibilang parah. Sadar kan gue? Emang!
Tapi yang namanya setan udah disettingnya
jago banget ngegodain manusia. Apalagi manusia ‘sejenis’ gue. Haha.
Bicara soal ‘masalah hidup’, pasti banyak yang
bertanya apa sih masalah hidup seorang Ita yang masih muda dan ceria ini?
Jawabannya satu kata aja, ‘BANYAK’! hahaha.
Notabennya emang gue masih tinggal sama orang tua,
masih jadi tanggung jawab orang tua ketika gue punya masalah apapun. Tapi gue gak
mau punya mind set kayak gitu.
Masalah gue ya masalah gue, bukan masalah orang tua gue. Tapi masalah orang tua
gue udah pasti masalah gue juga.
Masalah utama gue gak jauh-jauh dari soal
finansial. Apalagi sejak SMA gue udah membiasakan diri membiayai segala
kebutuhan hidup gue sendiri, otomatis ketika masuk masa kuliah hal itu menjadi
semakin wajib buat gue. Bayar apa-apa sendiri, biaya kebutuhan apa-apa sendiri.
Maka dari itu gue harus kerja keras, kerja keras lebih dari siapapun. Dari sisi
inilah terkadang timbul banyak masalah yang semakin berakar.
Kalau gue enggak kerja, gue enggak bisa kuliah.
Mau bayar pake daun emangnya?? Haha.
Gue menempatkan diri gue di dua sisi. Pertama,
adalah sebagai Ita yang harus menafkahi hidupnya sendiri. Kedua, adalah sebagai
Ita yang terus berusaha meraih segala cita-citanya. Keduanya saling
berkesinambungan kan? Ya, memang!
“Terus selama ini lo kerja apa sih, Ta?”
pertanyaan itu kerap kali muncul kepermukaan dari mulut manis teman-teman gue. Jawaban
gue selalu sama, dengan tegas dan yakin gue bilang “Kerja apaan aja yang
penting ada duitnya”. Dan kalian hanya bisa tersenyum geli mendengar jawaban
gue. Ya jelas kalian enggak tau lah, kalian itu teman main gue, bukan partner kerja gue.
Kalau mau tau lebih signifikan lagi kerjaan gue
itu apa, ya banyak, ganti-ganti. Gue pernah ngajar privat anak SD, gue pernah
jadi pelayan di restoran milik teman gue, gue pernah jadi SPG pembalut wanita,
gue pernah juga jadi Financial Consultan
diperusahaan ternama sampai jadi wartawan lepas di koran terbitan Jakarta. Semuanya
gue jalanin sembari kuliah.
Belom lagi kerjaan yang serabutannya, kayak jadi
kurir, photografer kelas teri, terima
pesanan karikatur, bikin kaos sablon, bikin buku tahuan, sampe jadi penulis
lepas naskah FTV dan video klip. Untuk yang terakhir itu gue rela bikin karya
sesuai pesanan tanpa mempedulikan ideologi gue sendiri. Terlebih gue rela nama
gue tidak dicantumkan sebagai ‘script
writer’ didalam credit title-nya.
Namanya juga jual putus, mau gimana lagi? Ya, itu semata-mata hanya demi uang.
Haha. Ironi.
Lagian enggak apa-apalah, kalau dipikir-pikir gue
juga malu kalau karya gue sengaja gue ciptain semata-mata hanya karena materi.
Sedangkan gue sering banget berkoar akan adanya karya yang muncul atas dasar
‘keuntungan’ satu pihak sebagai penciptanya. Aduh, uang-uang, adanya kamu
memang dapat melelehkan idealisme!
Balik lagi kebenang merah, itulah yang namanya
kerja keras. Pengorbanan. Demi terbang menggapai cita-cita gue rela dipandang
sebelah mata oleh siapapun, gue rela menomor sekiankan cinta, gue rela jatuh
pingsan berkali-kali.
Cita-cita gue?? Gak muluk-muluk. Gue pengan
berhasil. Kalau jadi pengusaha ya pengusaha yang berhasil, kalo jadi seniman ya
jadi seniman yang berhasil. I want to be
an succesfull people.
Biayain segala kebutuhan ade gue, lunasin semua
utang ortu (kalo ada), beli mobil, beli rumah, baru deh nikah. Hahaha. Terlalu
egois ya? Tapi gak apa-apa lah. Harus ada patokan dalam hidup ini. Selama gue
masih mau ‘kerja keras’, selama itu pula gue gak akan pernah takut untuk
‘mimpi’ setinggi-tingginya.
Kembali lagi ke Ibukota, gue bersyukur tumbuh
besar disini. Menikmati segala gemerlapnya, menangisi segala kerasnya
perjuangan hidup, menyelami segala inspirasi yang ada didalamnya. Gue suka
Ibukota, gue suka Jakarta.
NB : kembali lagi ke pekerjaan ya... sori gue sibuk.. biasa, serabutan lagi... hahaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar