Sabtu, 16 Juni 2012

Sedikit Bercerita


Berada di Ibukota sejak kecil terkadang mendorong gue untuk bersyukur atas jalan yang telah Allah kasih ke gue. Gue bersyukur banget bisa tumbuh besar di Jakarta dengan segala gemerlap dan kerasnya perjuangan untuk bertahan hidup. Asik. Haha.
Pergaulan memang menjadi kebutuhan wajib bagi setiap individu untuk menunjang phisikologis-nya dari sisi sosialisasi. Terlebih buat orang-orang yang sedang sibuk-sibuknya mencari jati diri, terutama usia remaja. Walau tidak menutup kemungkinan orang yang sudah paruh baya sekalipun masih saja mencari jati diri. Memang si ‘jati’ yang satu ini cukup sulit untuk ditemukan keberadaannya.
Gue pun sempat mengalami kesulitan menentukan jati diri. Dimana ketika gue berada di komunitas A, gue akan bersikap seperti mayoritas orang-orang dikelompok A itu, dan ketika gue berada di komunitas B, gue akan bertingkah laku sesuai mayoritas tingkah laku di komunitas B itu sendiri. Begitu seterusnya. Istilahnya “LABIL”. Ikut sana, ikut sini.
Awalnya gue berpikir itu adalah hal cerdas dalam bergaul. Berarti gue bisa menempatkan diri sesuai ‘target audiens’. Ternyata gue salah, itu bukanlah hal cerdas, sikap seperti itu gak lebih hanyalah fase kelabilan dalam pencarian jati diri gue. Dan untungnya gue udah berhasil melewati fase itu.
Penempatan diri bisa dibilang cerdas bila sesuai proporsi-nya. Ubah sikap yang perlu diubah, jangan mengubah yang tidak-tidak. Apalagi sampai mengubah tabiat bawaan.
Umur gue emang baru 21 tahun saat ini, tapi bukan berarti pengalaman gue dalam hal bergaul itu minim. Sejak SMP gue udah banyak menempatkan diri dimana aja tanpa terkecuali, mulai dari gaul sama tukang ojek, guru, atlet, mahasiswa dan lain sebagainya. Buat gue berdialog dengan orang-orang yang ‘beda’ dengan gue itu sangat menyenangkan. Ada aja ilmu yang gue dapet.
Ketika kebanyakan remaja perempuan seusia gue pada saat itu sedang menikmati masa-masa puber, gue malah sibuk nongkrong sana sini. Alhasil, gue mengalami keterlambatan dalam pubertas. Haha.
Lama-lama gue ngerasa labil banget ketika nongkrong sana sini, terlalu sering gue pake topeng terus lepas topeng. Pake topeng lagi, terus lepas topeng lagi. Masing-masing komunitas gue selalu pake topeng yang berbeda. Cape. Sampe akhirnya gue memutuskan untuk rehat dari kegiatan ‘sosialisasi’ komunitas selama beberapa minggu.
Setelah ngerasa kangen, gue kembali masuk untuk bergaul. Kali ini berbeda. Gue lebih ‘be my self’ disetiap kesempatan. Gak mau lagi ikut-ikutan mayoritas. Toh jadi minoritas gak ada salahnya. Cukup buat gue ikut sana sini. Saatnya ikutin hati sendiri.
Dan.... Tarrrrrraaaaaa..... semua orang lebih suka ketika gue menjadi diri gue sendiri. Pastinya gue excited, kenapa gak dari dulu sih gue begini? Hehe.
Sampai saat ini gue adalah gue, seorang Ita yang senang bergaul dan gemar bersiosialisasi. Tapi tetap be my self.
Bukan berarti be my self-nya  seorang Ita tuh bersih dari hal-hal negatif loh. Ya namanya manusia, ada aja sisi negatifnya dong. Wajarlah. Tapi sekali lagi, gue gak menyalahkan pergaulan gue kala gue sedang melakukan hal negatif, itu semua gak lepas dari diri gue sendiri dengan penuh kesadaran. Hehe. 
Tembakau dan alcohol, just it. Cuma dua hal negatif itu yang pernah gue jadiin pelarian dikala gue pusing dengan masalah hidup. Sebenernya enggak bisa dibilang ‘cuma’ juga sih. Berdasarkan alat pengukur ‘kebandelan’ yang gue punya itu udah bisa dibilang parah. Sadar kan gue? Emang! Tapi yang namanya setan udah disettingnya jago banget ngegodain manusia. Apalagi manusia ‘sejenis’ gue. Haha.
Bicara soal ‘masalah hidup’, pasti banyak yang bertanya apa sih masalah hidup seorang Ita yang masih muda dan ceria ini? Jawabannya satu kata aja, ‘BANYAK’! hahaha.
Notabennya emang gue masih tinggal sama orang tua, masih jadi tanggung jawab orang tua ketika gue punya masalah apapun. Tapi gue gak mau punya mind set kayak gitu. Masalah gue ya masalah gue, bukan masalah orang tua gue. Tapi masalah orang tua gue udah pasti masalah gue juga.
Masalah utama gue gak jauh-jauh dari soal finansial. Apalagi sejak SMA gue udah membiasakan diri membiayai segala kebutuhan hidup gue sendiri, otomatis ketika masuk masa kuliah hal itu menjadi semakin wajib buat gue. Bayar apa-apa sendiri, biaya kebutuhan apa-apa sendiri. Maka dari itu gue harus kerja keras, kerja keras lebih dari siapapun. Dari sisi inilah terkadang timbul banyak masalah yang semakin berakar.
Kalau gue enggak kerja, gue enggak bisa kuliah. Mau bayar pake daun emangnya?? Haha.
Gue menempatkan diri gue di dua sisi. Pertama, adalah sebagai Ita yang harus menafkahi hidupnya sendiri. Kedua, adalah sebagai Ita yang terus berusaha meraih segala cita-citanya. Keduanya saling berkesinambungan kan? Ya, memang!
“Terus selama ini lo kerja apa sih, Ta?” pertanyaan itu kerap kali muncul kepermukaan dari mulut manis teman-teman gue. Jawaban gue selalu sama, dengan tegas dan yakin gue bilang “Kerja apaan aja yang penting ada duitnya”. Dan kalian hanya bisa tersenyum geli mendengar jawaban gue. Ya jelas kalian enggak tau lah, kalian itu teman main gue, bukan partner kerja gue.
Kalau mau tau lebih signifikan lagi kerjaan gue itu apa, ya banyak, ganti-ganti. Gue pernah ngajar privat anak SD, gue pernah jadi pelayan di restoran milik teman gue, gue pernah jadi SPG pembalut wanita, gue pernah juga jadi Financial Consultan diperusahaan ternama sampai jadi wartawan lepas di koran terbitan Jakarta. Semuanya gue jalanin sembari kuliah.
Belom lagi kerjaan yang serabutannya, kayak jadi kurir, photografer kelas teri, terima pesanan karikatur, bikin kaos sablon, bikin buku tahuan, sampe jadi penulis lepas naskah FTV dan video klip. Untuk yang terakhir itu gue rela bikin karya sesuai pesanan tanpa mempedulikan ideologi gue sendiri. Terlebih gue rela nama gue tidak dicantumkan sebagai ‘script writer’ didalam credit title-nya. Namanya juga jual putus, mau gimana lagi? Ya, itu semata-mata hanya demi uang. Haha. Ironi.
Lagian enggak apa-apalah, kalau dipikir-pikir gue juga malu kalau karya gue sengaja gue ciptain semata-mata hanya karena materi. Sedangkan gue sering banget berkoar akan adanya karya yang muncul atas dasar ‘keuntungan’ satu pihak sebagai penciptanya. Aduh, uang-uang, adanya kamu memang dapat melelehkan idealisme!
Balik lagi kebenang merah, itulah yang namanya kerja keras. Pengorbanan. Demi terbang menggapai cita-cita gue rela dipandang sebelah mata oleh siapapun, gue rela menomor sekiankan cinta, gue rela jatuh pingsan berkali-kali.
Cita-cita gue?? Gak muluk-muluk. Gue pengan berhasil. Kalau jadi pengusaha ya pengusaha yang berhasil, kalo jadi seniman ya jadi seniman yang berhasil. I want to be an succesfull people.
Biayain segala kebutuhan ade gue, lunasin semua utang ortu (kalo ada), beli mobil, beli rumah, baru deh nikah. Hahaha. Terlalu egois ya? Tapi gak apa-apa lah. Harus ada patokan dalam hidup ini. Selama gue masih mau ‘kerja keras’, selama itu pula gue gak akan pernah takut untuk ‘mimpi’ setinggi-tingginya.  
Kembali lagi ke Ibukota, gue bersyukur tumbuh besar disini. Menikmati segala gemerlapnya, menangisi segala kerasnya perjuangan hidup, menyelami segala inspirasi yang ada didalamnya. Gue suka Ibukota, gue suka Jakarta.

NB : kembali lagi ke pekerjaan ya... sori gue sibuk.. biasa, serabutan lagi... hahaha 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar