Aku kerap kali duduk
dibawah langit malam, memandang penuh tanya dan rindu. Meyakinkan diri bahwa
ada kamu disana, melayang-layang di atas awan, sendirian. Beberapa kali aku
menyusuri kembali apa yang pernah kita lewati, dengan pikiran dan melakukan. Sayangnya
tanpa kamu yang nyata, hanya bayang.
Pernah aku berdiri ditengah-tengah
kerumunan orang yang sedang asik menikmati ‘efek rumah kaca’. Ada yang ikut
bernyanyi, ada yg bercengkrama dengan kawan, ada juga yang sendiri lalu
berkaca-kaca. Aku salah satu dari yg sendiri. Menikmati nada-nada yang
terdengar samar, terpukau lampu-lampu panggung yang benderang dan mencumbui
bayangmu.
Aku menangkap dirimu
sedang berada di kereta, mendengarkan lagu yang sama melalui earphone-mu. Merasakan
rindu yang sama denganku. Kamu menyusuri jalan, aku membentang malam. Sama-sama
saling mengingat dengan cara yang berbeda, di tempat yang tak sama. Melawan rindu
yang berkecamuk, melawan rasa yang harusnya tak lagi dirasa.
Di lain waktu aku pergi
ke toko buku, masuk kedalam sudut toko tempat dimana buku-buku filsafat
berjejer rapi disana, aku memandang satu persatu, mengambil satu yang menurutku
menarik bagi ‘kita’. Lalu dengan bodoh aku berkata lirih “ini pasti kamu suka”,
entah bicara pada siapa. Tak ada satu orang pun bersama aku saat itu, tapi kamu
ada disini –di pikiranku-, juga hatiku.
Melihat dunia luar
adalah melihat kamu, mendengarkan musik adalah mendengarkan ceritamu, meraba
makna adalah bercumbu denganmu.
Kamu. Aku mencintai
kamu. Sejak empat tahun lalu.