Kamis, 27 September 2012

Putaran Hati Ananda


Ini klasik untuk didengar
Kisah awam darah muda di rubik tenar
Titik cinta yang diberi berasa benar
Panah aprodite begitu nanar
Ananda memang anak kemarin sore yang sebentar
Denting hujan, laut dan batu besar
Menyusun alfabet yang bersinar
Tersemat dalam sel pusat yang terus berputar
Cinta ada saat ananda masih merah dan gemetar
Nanda takut purnama kan pudar
Itu salah satu kunci yang mengikar
Tapi makro detik membuat nanda tegar


Cinta Mereka


Dan jika ada hari dimana semua kembali
Mereka akan lebih bahagia dari sebelumnya
Melupakan sakit yang sebenarnya masih terasa
Dengan kebersamaan yang tidak terpisahkan
Lewat kesederhanaan gerak serta bahasa prosa

Harapan itu sering kali putih, abu-abu dan terkadang hitam
Merangkul setiap gemercik hujan yang turun akan memunculkan segenap rasa
Tenang dalam riuh, lembut walau deras, bahagia, pilu dan rindu
Lalu wanita itu akan menangis ditengah-tengahnya
Merasakan air mata di pipi yang serupa dengan air hujan
Tapi lebih hangat dan menyakitkan

Sulit bagi mereka membedakan omong kosong dengan janji yang tertunda
Kepercayaan besar sudah tertanam kokoh
Hanya saja terus digangu tumbuhnya benalu dan rumput liar
Tidak hidup...
Tidak mati...
Bukan duka...
Dan bukan pula suka...
Ini adalah cinta mereka...
Terhalang...


Kamus Besar Bahasa (Part I)


Aborsi                : Tindakan gegabah seorang perempuan yang sudah tidak perawan. Membuang hasil dari apa yang telah ia lakukan (dengan sengaja).

Asosial               : Sombong.

Rakyat               : Robot.

Rumah sakit       : Ada uang, ada dokter.

Demokrasi          : Gagasan yang mengutamakan peran serta rakyat dalam ikut andil mendukung jalannya pemerintahan. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk pemerintah.

Partai                  : Organisasi yang fasih dalam berpolitik (uang).

Pancasila            : Asas tunggal Republik Indonesia yang wajib dihapalkan, sunnah diamalkan.

Korupsi             : Suatu budaya khas Indonesia yang ingin ditiadakan, namun selalu gagal

Selasa, 18 September 2012

Kehidupan dan Idealisme


Kehidupan, terlalu banyak menuntut kesempurnaan yang sebenarnya terlalu dibuat buat. Latar belakang pendidikan dan status sosial, kini selalu menjadi tolak ukur penilaian atas kesempurnaan hidup. Lalu saya bertanya, dimana keberadaan berjuta ideologi sebelumnya? Mengapa kini semakin menyempit?
Bagi saya, keberadaan sekolah dan universitas adalah omong kosong ketika siswanya hanya bertujuan mendapat nilai A atau lulus dengan predikat Cum Laude. Kenapa tujuan mereka di akhir? Kenapa tidak prosesnya itu yang menjadi tujuan?  Yaitu, belajar dan mencari ilmu!
Saya pernah bertanya pada seorang teman dari Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2005 yang sampai saat ini belum menyelesaikan skripsinya. “Lo kenapa Bang gak ngelarin skripsi lo? Gila ye betah banget di kampus. S1 kok tujuh tahun lebih! Haha.”
Sembari teretawa kecil dan menyelesaikan lukisannya beliau menjawab, “Gue lebih suka bertitle MAHASISWA Ta dibanding bertitle PENGANGGURAN! Propesi macam kita tuh (pelaku seni) tidak pernah dianggap sebagai pekerjaan. Ya jadinya, kita ini PENGANGGURAN terus!”
Kali ini saya yang tertawa, bukan karena lucu, tapi karena saya menyetujui pernyataan beliau. Beliau orang yang cerdas, wawasannya luas, bahkan saya yakin jika beliau menyelesaikan skripsinya dan mengikuti sidang kelulusan, maka dengan mudah beliau akan lulus dengan menyandang predikat Cum Laude. Tapi itu belum menjadi pilihannya sekarang. Sampai saat ini, beliau masih asik menikmati kegiatan kampus tanpa memikirkan iming-iming title Sarjana.
Ijinkan saya berandai sejenak. Andai saya tidak hidup diperadaban yang meyakini bahwa latar belakang pendidikan menjadi tolak ukur sebuah pencapaian kesuksesaan, yap! mungkin dari awal saya akan memilih untuk tidak bersekolah formal. Karena saya menyadari, yang sedari awal saya dapatkan di sekolah, ternyata bisa saya dapati diluar sekolah. Bahkan lebih! Dan yang lebih penting, pelajaran yang saya dapat diluar sekolah tidak bertujuan mendapat nilai A, tetapi pasti mendapatkan nilai A!
Tapi itu hanyalah andai-andai. Nyatanya saya hidup pada peradaban dimana Ijasah-Ijasah menjadi sebuah barang berharga yang diburu banyak orang. Bahkan bagi yang sulit mendapatkannya, maka ia tidak ragu-ragu untuk memalsukan lembaran bodoh itu. Alasannya, agar mudah mendapat pekerjaan. Padahal sudah jelas-jelas begitu banyak orang yang memiliki Ijasah Strata satu tetapi masih menjadi PENGACARA alias PENGANGGURAN BANYAK ACARA. Ironi kan?
Baiklah, tak apa, saya tidak menyesali takdir yang mengantarkan saya pada jaman kalangkabutan macam ini. Saya akan mengikuti segala prosedur yang ada. Tapi saya juga punya jalan sendiri. Siapa yang sudi melewati jalan yang sudah padat? Saya punya jalan sendiri. Tanpa tekanan dan dengan terus menikmati, saya akan melewati jalan saya sendiri.
Setelah lulus (nanti), saya masih akan berjalan santai. Terus menulis, terus melukis, terus ber-acting. Lagi dan lagi. Itulah tujuan saya (see?? Bahkan saya sudah sampai tujuan saya). Karena inilah idealisme menurut nurani saya, yaitu hasrat untuk berseni! Inilah jalan saya.
Tanpa memperdulikan akan “jadi apa” saya kelak (bahkan saya rela disebut PENGACARA alias PENGANGGURAN BANYAK ACARA), saya akan terus berjalan disini. Karena saya menikmati perjalanannya!
Saya bukan seorang penulis, pelukis, atau bahkan pemain teater. Saya hanya menulis, melukis, dan memainkan sebuah peran diatas panggung. Terkadang saya bermusik, tapi saya bukan musisi. Sekali lagi, saya bukan penulis, pelukis, pemain teater atau musisi! Tetapi jika kelak predikat-predikat itu melekat pada saya, maka itu hanyalah sekedar efek-samping dari apa yang saya geluti.
Bagi mereka (kaum yang men-dewa-kan latar belakang pendidikan dan status sosial) teruslah kejar kesempurnaan hidup kalian yang belum terlihat itu. Saya tidak akan mengganggu apalagi menyalahi. Dan kami (penganut idealisme nurani), kami akan terus mengikuti hati nurani kami, tak perlu berkejaran, tapi sampai tujuan. Dan yang lebih penting, perjalanan kami sudah sangat sempurna dibanding kesempurnaan hidup kalian.
Bagaimana dengan anda? Ikut mereka atau ikut kami? Pilihlah jalan anda atau buatlah jalan sendiri!
Selamat menempuh perjalanan selajutnya kawan.     

Minggu, 02 September 2012

Mirasih


Mirasih kecil melihat sendiri buku tulisnya melayang di udara
Mendarat tepat di kakinya yang tidak bersepatu
Hatinya gemetar diperlakukan bagai anjing sirkus
Kemiskinan menjadikannya bagai berak yang bahkan najis untuk di injak
Gedung megah tempatnya menggantungkan sejuta harapan telah diisi oleh demit-demit penghianat masa depan

Setiap pagi Mirasih kecil berlari mengejar waktu
untuk menerobos gerbang sekolahnya
Pekerjaan rumah yang tidak selesai menjadi alasan si Jangkung melempar lagi buku tulis Mirasih pagi ini
Dan lalu ia berkata :
“Pemalas! Kau lihat buku tulismu yang tipis ini! Sama seperti otakmu yang tipis!”
Mirasih menitikan air mata
Dipungutnya buku tulis itu
“Ini buku tulis bekas saya, Pak. Saat saya duduk di kelas lima, buku ini tidak habis saya gunakan. Masih kosong setengah halaman. Lalu saya merobek halaman-halaman depan yang sudah terisi, agar buku tulis ini bisa saya gunakan lagi. Ibu saya tidak sanggup membelikan buku tulis yang baru. Bapak tidak perlu khawatir, halaman-halaman berisi catatan pelajaran yang saya robek tidak serta-merta saya buang. Itu saya simpan untuk belajar sewaktu-waktu.”
Lalu riuh tawa dari seisi kelas
Mirasih celingukan :
Rupanya dunia sudah kekurangan cerita humor

Dan samar-samar Mirasih mendengar si Jangkung mengumpat pelan “dasar miskin!”
Lagi-lagi Mirasih hanya bisa gemetar
Berak yang najis untuk di injak, bahkan kini asik dibuat mainan oleh si Jangkung berijasah S1

Pelayanan gratis macam apa yang disediakan oleh negara ini untuk rakyatnya yang miskin?
Atas dasar apa mereka membantu Mirasih?
Atas dasar kemanusiaan yang meningkatkan citra positif
Atas dasar kemanusiaan dengan imbalan nilai ekonomi
Atas dasar kemanusiaan sebagai katrol keberhasilan kampanye politik
Atas dasar kemanusiaan yang tidak manusiawi

Kini Mirasih telah dewasa
Kecerdasaannya pun luar biasa
Sampai disuatu pagi, di ruang yang sunyi
Teriak Mirasih menggelegar
“Ulangi skripsimu!! Kau tau? Kurikulum itu bukan belajar dan mengajar! Kurikulum itu majikan! Sama seperti aku dan si Jangkung!”

Jakarta, 25 Juli 2012