Selasa, 22 Agustus 2017

Menjadi Wanita

"Aku mencintaimu, biarlah itu urusanku. Bagaimana engkau kepadaku, terserah itu urusanmu."

Hei Ayah, Pidi Baiq... Dengar, aku ingin bicara padamu, ini rahasia. Jauh sebelum kalimat mautmu itu kau keluarkan, ada seorang laki-laki yang mengatakan hal yang sama padaku. Memang dengan kalimat yang berbeda. Tapi maknanya sama.

Begini katanya; "Apa jika aku mencintaimu kau juga harus mencintaiku? tidak, terserah padamu. Aku mencintaimu.".

Iya, entah beberapa tahun yang lalu, laki-laki manis itu mengatakan kalimat itu padaku. Kalimat yang membuat aku tersenyum dan entah harus berbuat apa.

Minggu, 27 September 2015

Cafe(in)

Malam ini seperti malam kemarin
Kasih, aku datang dan menghampiri barista muda itu
Sedikit bicara
Lalu segelas black coffe tersedia
Katanya, aku cantik malam ini
dengan rok hitam dan jilbab merah muda bergaris merah.
Tentu aku tersenyum,
Lalu seketika pilu
Kasih, aku tidak haus pujian dari siapapun. termasuk kamu.
Jika aku disuruh memilih, aku ingin menikmati secangkir kopi hitam denganmu,
tanpa satu katapun yang keluar dari mulutku atau mulutmu.
Hanya diam menikmati udara yang beraroma
Sederhana
Tapi aku kecanduan
Sama seperti aku candu minuman ini
Sialan, dia barista berbakat, Kasih.

Jakarta,CoffeeWar-Kemang
27-09-2015
Juwita

Senin, 29 September 2014

Memori

Aku kerap kali duduk dibawah langit malam, memandang penuh tanya dan rindu. Meyakinkan diri bahwa ada kamu disana, melayang-layang di atas awan, sendirian. Beberapa kali aku menyusuri kembali apa yang pernah kita lewati, dengan pikiran dan melakukan. Sayangnya tanpa kamu yang nyata, hanya bayang. 

Pernah aku berdiri ditengah-tengah kerumunan orang yang sedang asik menikmati ‘efek rumah kaca’. Ada yang ikut bernyanyi, ada yg bercengkrama dengan kawan, ada juga yang sendiri lalu berkaca-kaca. Aku salah satu dari yg sendiri. Menikmati nada-nada yang terdengar samar, terpukau lampu-lampu panggung yang benderang dan mencumbui bayangmu.

Aku menangkap dirimu sedang berada di kereta, mendengarkan lagu yang sama melalui earphone-mu. Merasakan rindu yang sama denganku. Kamu menyusuri jalan, aku membentang malam. Sama-sama saling mengingat dengan cara yang berbeda, di tempat yang tak sama. Melawan rindu yang berkecamuk, melawan rasa yang harusnya tak lagi dirasa.

Di lain waktu aku pergi ke toko buku, masuk kedalam sudut toko tempat dimana buku-buku filsafat berjejer rapi disana, aku memandang satu persatu, mengambil satu yang menurutku menarik bagi ‘kita’. Lalu dengan bodoh aku berkata lirih “ini pasti kamu suka”, entah bicara pada siapa. Tak ada satu orang pun bersama aku saat itu, tapi kamu ada disini –di pikiranku-, juga hatiku.

Melihat dunia luar adalah melihat kamu, mendengarkan musik adalah mendengarkan ceritamu, meraba makna adalah bercumbu denganmu.

Kamu. Aku mencintai kamu. Sejak empat tahun lalu. 

Rabu, 24 September 2014

Gaduh Mengadu

Ranah tanah ego jauh tenggelam ke dasar
Aku terlupa untuk mengingat segala
Lantas semua mulai tak berurut
Tak menentu
Aku dikejar waktu
Lalu aku mengejarmu yg semakin menjauh
Aku berhenti, kamu menoleh, dan lagi-lagi berlari
Sedang nafasku masih terengah
Aku takut kamu pun lelah

Hujan lah, awan
Temani aku berair mata, Tuhan
Temani aku memeluk rindu, teman
Dan malam hinggap lagi, kawan
Aku makin nadir, bulan


Jakarta, September 2014

Senin, 07 Juli 2014

Prolog

Katanya; “Nikmatilah lara untuk sementara”

Iya, gue sih ngerasa dia bilang begitu ke gue, si maba (mahasiswa baru) jurusan Jurnalistik yang lagi lucu-lucunya itu. Alhasil gue senyum-senyum sendiri abis ngedengerin lagu yang dia rekomen-in ke gue. Lagu dari band indie Indonesia, Float, judulnya ‘Sementara’.

Sementara teduhlah hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara ingat lagi mimpi
Juga janji janjiJangan kau ingkari lagi
Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita laluiJangan henti disini
Sementara lupakanlah rindu
Sadarlah hatiku hanya ada kau dan aku
Dan sementara akan kukarang cerita
Tentang mimpi jadi nyata
Untuk asa kita ber dua
Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita lalui
Takkan lagi kita kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara
Jangan henti disini

Lebay gak sih kalo gue ngerasa dia nge-push gue untuk move on secara gak langsung? Gapapa kali ya sekali-sekali lebay, kalo emang memberi kekuatan buat gue ya gak masalah kan? Malah bagus.

Ibarat dapet kekuatan kamehameha-nya Goku, setelah mendengar lagu itu gue jadi ngerasa kalo ‘ada loh orang yang dengan iklas nunggu gue move on, tanpa mengharap A, B, C atau D.’ Really feel good. Gue ngerasa dia bisa jadi temen yang asik buat menarik gue dari lubang-lubang nista yang telah menjebak gue ratusan hari tanpa makan sampe akhirnya gue kelaparan dan letih kayak Avatar Aang yang baru keluar dari es batu setelah ribuan tahun. Hahaha. Serius. Itu berasa sejak semalam gue dan dia ber…. Hahaha (tebak sendiri)

Selera musiknya bagus, menurut gue sih gak mainstream, dream pop, folk, jazz, hampir semua aliran dia jamah, tapi tetep pemilihannya berkualitas menurut gue, ya kalian tau sendirilah gimana hebatnya musikalitas gue *benerin dasi*.

Dan gue rasa dia juga punya wawasan yang luas, open minded gitu, diplomatis, halah! Dikira dia bangsawan kali diplomatis. Haha. Apa ya? Oke gini deh, pernah gak lo nemuin orang yang emang pinter dalam bidang akademis, tapi gak open minded sama perkembangan jaman. Gak tau kasus ini itu, kayak katak dalam tempurung gitu? Pernah kan? Nah, gue rasa dia jauh dari kesan itu, dia kebalikannya, tapi tetep pinter, lebih tepatnya cerdas. Mungkin faktor ‘jurusan’ kuliah yang memaksa dia harus tau perkembangan berita, karena kalo diliat dari Primbon dan Feng Shui namanya tuh bukan termaksud nama orang yang cerdas bawaan sejak lahir. Otaknya kapsul. Sekarang-sekarang ini aja kayaknya mulai mencair, akibat sogokan 4.20. haha. I don’t know what, gue selalu medapati penikmat 4.20 adalah orang-orang anti mainstream yang punya kecerdasan tersendiri.

Ah udahlah udah, kayaknya kebanyakan nih mendeskripsikannya. Haha.

Thanks friends. Besok gue terusin lagi nulisnya.