"Aku mencintaimu, biarlah itu urusanku. Bagaimana engkau kepadaku, terserah itu urusanmu."
Hei Ayah, Pidi Baiq... Dengar, aku ingin bicara padamu, ini rahasia. Jauh sebelum kalimat mautmu itu kau keluarkan, ada seorang laki-laki yang mengatakan hal yang sama padaku. Memang dengan kalimat yang berbeda. Tapi maknanya sama.
Begini katanya; "Apa jika aku mencintaimu kau juga harus mencintaiku? tidak, terserah padamu. Aku mencintaimu.".
Iya, entah beberapa tahun yang lalu, laki-laki manis itu mengatakan kalimat itu padaku. Kalimat yang membuat aku tersenyum dan entah harus berbuat apa.
J U W I T A
Hidup adalah kata. Hidup adalah waktu. Hidup adalah bahasa. Hidup adalah kehidupan. Hidup.... adalah deru nafas kerja yang menghasilkan sebuah 'MASTERPIECE'
Selasa, 22 Agustus 2017
Minggu, 27 September 2015
Cafe(in)
Malam ini seperti malam kemarin
Kasih, aku datang dan menghampiri barista muda itu
Sedikit bicara
Lalu segelas black coffe tersedia
Katanya, aku cantik malam ini
dengan rok hitam dan jilbab merah muda bergaris merah.
Tentu aku tersenyum,
Lalu seketika pilu
Kasih, aku tidak haus pujian dari siapapun. termasuk kamu.
Jika aku disuruh memilih, aku ingin menikmati secangkir kopi hitam denganmu,
tanpa satu katapun yang keluar dari mulutku atau mulutmu.
Hanya diam menikmati udara yang beraroma
Sederhana
Tapi aku kecanduan
Sama seperti aku candu minuman ini
Sialan, dia barista berbakat, Kasih.
Jakarta,CoffeeWar-Kemang
27-09-2015
Juwita
Kasih, aku datang dan menghampiri barista muda itu
Sedikit bicara
Lalu segelas black coffe tersedia
Katanya, aku cantik malam ini
dengan rok hitam dan jilbab merah muda bergaris merah.
Tentu aku tersenyum,
Lalu seketika pilu
Kasih, aku tidak haus pujian dari siapapun. termasuk kamu.
Jika aku disuruh memilih, aku ingin menikmati secangkir kopi hitam denganmu,
tanpa satu katapun yang keluar dari mulutku atau mulutmu.
Hanya diam menikmati udara yang beraroma
Sederhana
Tapi aku kecanduan
Sama seperti aku candu minuman ini
Sialan, dia barista berbakat, Kasih.
Jakarta,CoffeeWar-Kemang
27-09-2015
Juwita
Senin, 29 September 2014
Memori
Aku kerap kali duduk
dibawah langit malam, memandang penuh tanya dan rindu. Meyakinkan diri bahwa
ada kamu disana, melayang-layang di atas awan, sendirian. Beberapa kali aku
menyusuri kembali apa yang pernah kita lewati, dengan pikiran dan melakukan. Sayangnya
tanpa kamu yang nyata, hanya bayang.
Pernah aku berdiri ditengah-tengah
kerumunan orang yang sedang asik menikmati ‘efek rumah kaca’. Ada yang ikut
bernyanyi, ada yg bercengkrama dengan kawan, ada juga yang sendiri lalu
berkaca-kaca. Aku salah satu dari yg sendiri. Menikmati nada-nada yang
terdengar samar, terpukau lampu-lampu panggung yang benderang dan mencumbui
bayangmu.
Aku menangkap dirimu
sedang berada di kereta, mendengarkan lagu yang sama melalui earphone-mu. Merasakan
rindu yang sama denganku. Kamu menyusuri jalan, aku membentang malam. Sama-sama
saling mengingat dengan cara yang berbeda, di tempat yang tak sama. Melawan rindu
yang berkecamuk, melawan rasa yang harusnya tak lagi dirasa.
Di lain waktu aku pergi
ke toko buku, masuk kedalam sudut toko tempat dimana buku-buku filsafat
berjejer rapi disana, aku memandang satu persatu, mengambil satu yang menurutku
menarik bagi ‘kita’. Lalu dengan bodoh aku berkata lirih “ini pasti kamu suka”,
entah bicara pada siapa. Tak ada satu orang pun bersama aku saat itu, tapi kamu
ada disini –di pikiranku-, juga hatiku.
Melihat dunia luar
adalah melihat kamu, mendengarkan musik adalah mendengarkan ceritamu, meraba
makna adalah bercumbu denganmu.
Kamu. Aku mencintai
kamu. Sejak empat tahun lalu.
Rabu, 24 September 2014
Gaduh Mengadu
Ranah tanah ego jauh tenggelam ke dasar
Aku terlupa untuk mengingat segala
Lantas semua mulai tak berurut
Tak menentu
Aku dikejar waktu
Lalu aku mengejarmu yg semakin menjauh
Aku berhenti, kamu menoleh, dan lagi-lagi berlari
Sedang nafasku masih terengah
Aku takut kamu pun lelah
Hujan lah, awan
Temani aku berair mata, Tuhan
Temani aku memeluk rindu, teman
Dan malam hinggap lagi, kawan
Aku makin nadir, bulan
Jakarta, September 2014
Minggu, 13 Juli 2014
Senin, 07 Juli 2014
Prolog
Katanya; “Nikmatilah lara untuk sementara”
Iya, gue sih ngerasa dia bilang begitu ke gue, si
maba (mahasiswa baru) jurusan Jurnalistik yang lagi lucu-lucunya itu. Alhasil
gue senyum-senyum sendiri abis ngedengerin lagu yang dia rekomen-in ke gue. Lagu
dari band indie Indonesia, Float, judulnya ‘Sementara’.
Sementara teduhlah hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara ingat lagi mimpi
Juga janji janjiJangan kau ingkari
lagi
Percayalah hati lebih dari ini
Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita laluiJangan
henti disini
Sementara lupakanlah rindu
Sementara lupakanlah rindu
Sadarlah hatiku hanya ada kau dan aku
Dan sementara akan kukarang cerita
Tentang mimpi jadi nyata
Untuk asa kita ber dua
Percayalah hati lebih dari
ini
Pernah kita lalui
Takkan lagi kita kita mesti
jauh melangkah
Nikmatilah lara
Jangan henti disini
Lebay
gak sih kalo gue ngerasa dia nge-push
gue untuk move on secara gak
langsung? Gapapa kali ya sekali-sekali lebay, kalo emang memberi kekuatan buat
gue ya gak masalah kan? Malah bagus.
Ibarat
dapet kekuatan kamehameha-nya Goku, setelah mendengar lagu itu gue jadi ngerasa
kalo ‘ada loh orang yang dengan iklas nunggu gue move on, tanpa mengharap A, B, C atau D.’ Really feel good. Gue ngerasa dia bisa jadi temen yang asik buat
menarik gue dari lubang-lubang nista yang telah menjebak gue ratusan hari tanpa
makan sampe akhirnya gue kelaparan dan letih kayak Avatar Aang yang baru keluar
dari es batu setelah ribuan tahun. Hahaha. Serius. Itu berasa sejak semalam gue
dan dia ber…. Hahaha (tebak sendiri)
Selera
musiknya bagus, menurut gue sih gak mainstream,
dream pop, folk, jazz, hampir semua aliran dia jamah, tapi tetep
pemilihannya berkualitas menurut gue, ya kalian tau sendirilah gimana hebatnya
musikalitas gue *benerin dasi*.
Dan
gue rasa dia juga punya wawasan yang luas, open
minded gitu, diplomatis, halah! Dikira dia bangsawan kali diplomatis. Haha.
Apa ya? Oke gini deh, pernah gak lo nemuin orang yang emang pinter dalam bidang
akademis, tapi gak open minded sama
perkembangan jaman. Gak tau kasus ini itu, kayak katak dalam tempurung gitu? Pernah
kan? Nah, gue rasa dia jauh dari kesan itu, dia kebalikannya, tapi tetep
pinter, lebih tepatnya cerdas. Mungkin faktor ‘jurusan’ kuliah yang memaksa dia
harus tau perkembangan berita, karena kalo diliat dari Primbon dan Feng Shui namanya
tuh bukan termaksud nama orang yang cerdas bawaan sejak lahir. Otaknya kapsul. Sekarang-sekarang
ini aja kayaknya mulai mencair, akibat sogokan 4.20. haha. I don’t know what, gue selalu medapati penikmat 4.20 adalah
orang-orang anti mainstream yang
punya kecerdasan tersendiri.
Ah
udahlah udah, kayaknya kebanyakan nih mendeskripsikannya. Haha.
Thanks
friends. Besok gue terusin lagi nulisnya.
Langganan:
Postingan (Atom)