Senin, 29 September 2014

Memori

Aku kerap kali duduk dibawah langit malam, memandang penuh tanya dan rindu. Meyakinkan diri bahwa ada kamu disana, melayang-layang di atas awan, sendirian. Beberapa kali aku menyusuri kembali apa yang pernah kita lewati, dengan pikiran dan melakukan. Sayangnya tanpa kamu yang nyata, hanya bayang. 

Pernah aku berdiri ditengah-tengah kerumunan orang yang sedang asik menikmati ‘efek rumah kaca’. Ada yang ikut bernyanyi, ada yg bercengkrama dengan kawan, ada juga yang sendiri lalu berkaca-kaca. Aku salah satu dari yg sendiri. Menikmati nada-nada yang terdengar samar, terpukau lampu-lampu panggung yang benderang dan mencumbui bayangmu.

Aku menangkap dirimu sedang berada di kereta, mendengarkan lagu yang sama melalui earphone-mu. Merasakan rindu yang sama denganku. Kamu menyusuri jalan, aku membentang malam. Sama-sama saling mengingat dengan cara yang berbeda, di tempat yang tak sama. Melawan rindu yang berkecamuk, melawan rasa yang harusnya tak lagi dirasa.

Di lain waktu aku pergi ke toko buku, masuk kedalam sudut toko tempat dimana buku-buku filsafat berjejer rapi disana, aku memandang satu persatu, mengambil satu yang menurutku menarik bagi ‘kita’. Lalu dengan bodoh aku berkata lirih “ini pasti kamu suka”, entah bicara pada siapa. Tak ada satu orang pun bersama aku saat itu, tapi kamu ada disini –di pikiranku-, juga hatiku.

Melihat dunia luar adalah melihat kamu, mendengarkan musik adalah mendengarkan ceritamu, meraba makna adalah bercumbu denganmu.

Kamu. Aku mencintai kamu. Sejak empat tahun lalu. 

Rabu, 24 September 2014

Gaduh Mengadu

Ranah tanah ego jauh tenggelam ke dasar
Aku terlupa untuk mengingat segala
Lantas semua mulai tak berurut
Tak menentu
Aku dikejar waktu
Lalu aku mengejarmu yg semakin menjauh
Aku berhenti, kamu menoleh, dan lagi-lagi berlari
Sedang nafasku masih terengah
Aku takut kamu pun lelah

Hujan lah, awan
Temani aku berair mata, Tuhan
Temani aku memeluk rindu, teman
Dan malam hinggap lagi, kawan
Aku makin nadir, bulan


Jakarta, September 2014